Jumat, 24 April 2015

Tugas Bahasa Indonesia kelas XI SMA



Bahasa Indonesia
Nama : Razi rustandi
SMAN 1 NAGREG
v  Hal 55 no 1-10
1.      Genre film yang ditawarkan dalam film “ Ruri model biner dalam dongeng moral yang berjudul The prince and the pauper karya merk twain.mah Tanpa Kaca “ itu adalah film musikal. Di negara Hollywood genre fil tersebut dikembangkan.
2.      Pembuatan film tersebut terinspirasi da
3.      Tokoh utama dalam film tersebut adalah Aldo dan Rara
4.      Yang diinginka Rara adalah memiliki rumah berjendela
5.      Yang diinginkan Aldo adalah terpenuhinya kebutuhan fisiknya
6.      Simbol yang tersirat dari persahabatan mereka adalah opposite attracks
7.      Istilah tersebut adalah pertemuan kutub latar belakang status sosial yang berbeda.
8.      Peristiwa yang dialami Rara adalah ketika ia pulang untuk menemukan rumahnya habis terbakar, Si Mbok tergeletak koma dan ayahnya meninggal dunia.
9.      Simbol yang tersirat adalah Logika pemaknaan
10.  Pesan moralnya adalah menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/mental.
v  Hal 60 no 1
a)orientasi tahap 1
1.      Tradisi film musikal di kembangkan di hollywood                                    mengacu pada kecenderungan film-film musikal klasik tahun 1930-1960an
2.      Berpaku pada hal-hal yang berlawanan (oposisi biner) yang tampak dalam musikal anak-anak “Rumah Tanpa Jendela”
3.      Film tersebut di adopsi dari “ jendela Rara”
b) orientasi tahap 2
1.      Kisah dalam film tesebut terinspirasi dari model biner dalam dongeng moral berjudul The Prince and The Pauper karya Mark twain.
2.      Sang pangeran adalah tokoh aldo
3.      Aldo mewakili ide paragraf keluarga berjouis yang pemenuhan kebutuhan fisiknya berlebihan, tetapi jiwanya kering dan mengakibatkan dilema personal.
4.      Kondisi rumah yang rara tempati membuatnya terobsesi untuk memiliki sebuah rumah yang berjendela. Sebuah impian yang harus ia bayar dikemudian hari.
c) tafsira isi tahap 1
1.      mengikuti tradisi opposite attracks, aldo dan rara bertemu tidak sengaja dalam sebuah kecelakaan kecil.
2.      Persahabatan mereka bukan hanya pertemanan individu, melainkan pertemuan dua kutub status yang berbeda
d) tafsiran isi tahap 2
1.      Film tersebut menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat yang tefragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial ekonomi maupun kodisi fisik/mental.
2.      Fungsi ideologis yang ditawarkan film musikal adalah resolusi dari ketakutan akan perbedaan yang diwakili oposisi biner dalam naratif.
3.      Penyederhanaan posisi berlawanan si miskin dan si kaya terwakili oleh narasi sosialekonomi Aldo dan Rara.
4.      perbedaan si miskin dan si kaya dalam film ini adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-berpunya
e) tafsiran isi tahap 3
1.      Dalam film “Rumah Tanpa Jendela” sikap moral yang disarankan kepada penonton adalah bersyukur.
2.      keinginan Rara itu dimaknai sebagai keinginan yang berlebihan ketika ia “dihukum” dengan kompensasi yang harus ia bayar. Logikapemaknaan tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam kesenangan
3.      Keinginan Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai orang yang tidak berpunya
f) tafsiran isi tahap 4
1.      kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas semua yang mereka punyai (harta dan keluarga yang utuh)
2.      sementara ada orang-orang yang tidak berpunya seperti Rara. Oleh karena itu, untuk “membayar” pelajaran yang mereka dapat ini,
3.      mereka melakukan kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara dekat.
g) tafsiran isi tahap 5
1.      Dalam model utopia (khayalan) yang terdapat di dalam film tersebut, anak-anak menjadi “penanda” dari kelahiran atau takdir manusia.
2.      ermasalahan yang dimiliki anak-anak ini diperlihatkan sebagai sesuatu yang alami dengan lebih menekankan cara menghadapi permasalahan alih-alih mempertanyakan penyebabnya.
3.      posisi biner permasalahan Aldo dan Rara.
4.      Aldo yang mewakili aspek natural takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara sehingga membuat kemiskinan ternaturalisasikan lewat logika pemahaman yang sama,
5.      alih-alih hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung negara, film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia
h) tafsiran isi tahap 6
1.      Jendela dalam film “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah metafora yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang untuk mengakses dunia lain (dari dalam atau dari luar) tanpa meninggalkan tempatnya.
2.      Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat jika dibandingkan dengan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/ keluar.
3.      Jendela adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi.
4.      Dengan si miskin berlapang dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari kemalangan si miskin, masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan tercipta.
i) tafsiran isi tahap 7
1.      pada penonton yang mereka sasar, tidak lain tentu anak-anak kelasmenengah atas yang mampu mengakses bioskop sebagai bagiandari leisure activity.
2.      Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat, yang kemiskinan dan kekayaan ternaturalisasi sebagai takdir dan karenanya tidak perlu dipertanyakan.
3.      si kaya termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya diri mereka; dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tidak tampak’ di depan mata.


v  Hal 62
1.       
no
Film"Rumah Tanpa Jendela"

pujian
kritikan

1
Jendela dalam film “Rumah Tanpa
Jendela” merupakan sebuah
metafora yang mengena
Sayang, sebagai sebuah film musikal, tidak
banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu
yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film
ini, kecuali penekanan dramatis belaka.




2
Dalam hal ini film musikal mengalami konsep film yang menghibur sebagai utopia sendiri 
Namun pertanyaanya adalah utopia menurut siapa


3
kemiskinan Rara sehingga membuat
kemiskinan ternaturalisasikan lewat logika pemahaman yang sama
film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia



v  Hal 64
no
kosa kata
Arti Kosakata


1
adaptasi
penyesuaina terhadap lingkungan, pekerjaan, dan pelajaran

2
akses
jalan masuk 

3
bioskop
gedung pertunjukan film cerita 

4
borjuis
kelas masyarakat dr golongan menengah ke atas 

5
destruktif
merusak, memusnahkan, atau menghancurkan 

6
eksploitasi
pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan 

7
fragmentasi
pencuplikan (cerita dsb) 

8
gender
gamelan Jawa yg dibuat dr bilah-bilah logam berjumlah empat belas buah dng penggema dr bambu 

9
harmonis
bersangkut paut dng (mengenai) harmoni; seia sekata;

10
inspirasi
ilham 

11
klasik
mempunyai nilai atau mutu yg diakui dan menjadi tolok ukur kesempurnaan yg abadi; tertinggi 

12
kolektif
 secara bersama; secara gabungan

13
koma
 keadaan tidak sadar sama sekali dan tidak mampu memberi reaksi thd suatu rangsangan (krn keracunan, sakit parah, dsb)

14
kompensasi
 ganti rugi

15
kutub
 ujung poros atau sumbu bum

16
logika
 jalan pikiran yg masuk akal

17
metafora
pemakaian kata atau kelompok kata bukan dng arti yg sebenarnya, melainkan sbg lukisan yg berdasarkan persamaan atau perbandingan 

18
model
pola (contoh, acuan, ragam, dsb) dr sesuatu yg akan dibuat atau dihasilkan 

19
obsesi
gangguan jiwa berupa pikiran yg selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan 

20
oposisi biner
 berpaku pada hal-hal yang berlawanan

21
paradoks
pernyataan yg seolah-olah bertentangan (berlawanan) dng pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran 

22
protektif
bersangkutan dng proteksi; bersifat melindungi 

23
ras
golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa: 

24
realita sosial
 Kehidupan nyata/ fakta dalm kehidupan sosial

25
sindrom
himpunan gejala atau tanda yg terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan tertentu; hal-hal (spt emosi atau tindakan) yg biasanya secara bersama-sama membentuk pola yg dapat diidentifikasi 

26
sekolah singgah
Tempat belajar yang  hanya menumpang

27
temperamen
sifat batin yg tetap mempengaruhi perbuatan, perasaan, dan pikiran (periang, penyedih, dsb) 

28
tradisi
adat kebiasaan turun-temurun (dr nenek moyang) yg masih dijalankan dl masyarakat; 

29
utopia
sistem sosial politik yg sempurna yg hanya ada dl bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dl kenyataan 

30
villa
rumah mungil di luar kota atau di pegunungan; rumah peristirahatan (digunakan hanya pada waktu liburan) 


2.       
no
istilah asing
arti
 1
leisure activity 
Aktivitas yang menyenangkan, dilakukan pada waktu
senggang 
 2
opposite attracks 
attracks berlawanan
 3
 privilege
hak istimewa 
 4
self- reference 
referensi diri 
 5
scene 
tempat kejadian 
 6
taken-for-granted 
diambil-untuk-diberikan 



3.        
 Kata dasar
 Verba
 Nomina
 Ulas
 Mengulas
 Ulasan
 Nilai
 Menilai
 Penilaian
 Evaluasi
 Mengevaluasi
 Pengevaluasi
 Kritik
 mengkritik
 Kritikan
 Ukur
 Mengukur
 Ukuran
 Komentar
 mengomentari
 Pengomentar
 Tafsir
 Menafsirkan
 Tafsiran
 Kupas
 mengupas
 kupasan

4.        

 Kata
 antonim
 Keterbatasan
 Kelebihan
 Ketidakadilan
 Keadilan
 Pertemanan
 Permusuhan
 Ketakutan
 Keberanian
 Penolakan
 Penerimaan
 Pertemuan
 Perpisahan
 Kemewahan
 Kesederhanaan
 Perusak
 Perbaikan
 Ketenangan
 Kegaduhan
 Pemenuhan
 Pengosongan
 Perbedaan
 Persamaan
 Si- kaya
 Si-Miskin
 penyederhanaan
 Penjabaran
 kenyamanan
kegelisahan 

5.       
 Kata dasar
 Verba aktif
Verba pasif 
 Kembang
 Mengembangkan
 Dikembangkan
 Acu
 Mengacukan
 Diacuhkan
 Paku
 mempakukan
 Dipakukan
 Lawan
 Melawan
 Dilawan
 Utama
 Mengutamakan
 Diutamakan
 Kaitan
 Mengaitkan
 Dikaitkan
 Adaptasi
 Mengadaptasikan
 Diadaptasikan
 Inspirasi
 Mengispirasikan
 Diinspirasikan
 Alami
 Mengalamikan
 Dialamikan
 Jendela


 Belajar
 mengajarkan
diajarkan 
 Mukim
 Memukimkan
dimukimkan 
 Obsesi
 Mengobsesikan
 diobsesikan
 Gambar
 Menggambarkan
digambarkam 
 Jalan
 Menjalankan
 Dijalankan
 Rusak
 Merusakan
 dirusakkan
 Tenang
 Menenangkan
 ditenangkan
 mewah
 memewahkan
dimewahkan 

6.       
Nomina dasar 
 Nomina umum
 Nomina khusus
 Film
sanggar
 Rumah
 Hollywood
 Impian
 Aldo
 Keluarga
 Rara
 Majalah
 Si mbok
 Buku
 Komunitas
 Jendela
 Mobil
 Negara
 Krayon
 Polisi
 Kolam renang
 Villa
 Kamera
 jakarta
 Bioskop

7.       
 Nomina turunan

 Pe+N
 Peng+N+an
 N+an
 Per+an
 Ke+N+an

 penanda
 Penolakan
 impian
permukiman 
Kecenderungan

 Penerimaaan
 pemenuhan
rangkaian 
 Pertemanan
 Kemewahan


penyederhanaan 
 Kalangan
 persahabatan
 kebutuhan


pelajaran 
hiburan 
permasalahan 
kecelakaan 


  Pemaknaan

perbedaan 
kepemilikan 


penawaran 


 kenyamanan









8.       

pronomina
Contoh kalimat
Orang ketiga:
ia dan -nya
1)      Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai keinginan yang berlebihan ketika ia “dihukum” dengan kompensasi yang harus ia bayar.
2)      Logika pemaknaan tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam kesenangan borjuis (pesta ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk menemukan rumahnya habis terbakar, Si Mbok tergeletak koma dan ayahnya meninggal dunia.
3)      Keinginan Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai orang yang tidak berpunya.
4)      Kondisi rumah tersebut membuat Rara terobsesi untuk memiliki sebuah rumah berjendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.

9.          
adjektive
Prosa adjektival
Kumuh
Pemukiman kumuh
Kering
Jiwanya kering
Dramatis
Penekanan dramatis
Cilik
Gadis cilik
Destruktif
perilaku destruktif
Berlebihan
Fisiknya berlebihan
Dilema
Mengakibatkan dilema personal
Baik
Keadaan baik
utuh
Keluarga yang utuh

v  Hal 70 

Konjungsi
kalimat
Koordinatif:
• dan
• atau
• tetapi
(1) Tradisi film musikal yang dikembangkan di Hollywood mengacu pada kecenderungan film-film musikal klasik
tahun 1930--1960-an yang berpaku pada hal-hal yang berlawanan
(oposisi biner), terutama berkaitan dengan gender,
ras, agama, latar belakang, atau temperamen.
(2) Hal itu tergambar pada kondisi keluarga Aldo dan teman-teman
Rara, antara si miskin dan si kaya.
(3) Aldo mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan
kebutuhan fisiknya berlebihan, tetapi jiwanya kering
dan mengakibatkan dilema personal.
(4) ). Aldo
mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan
fisiknya berlebihan, tetapi jiwanya kering dan mengakibatkan dilema
personal.
(5) . Rumah itu ditempati Rara bersama nenek (Si Mbok) dan ayahnya.
(6) dalam film
tersebut, anak-anak menjadi “penanda” dari kelahiran atau takdir manusia.
(7) Rara tinggal di sebuah rumah tidak berjendela yang terbuat dari seng, tripleks, dan kayu bekas di salah satu kawasan
permukiman kumuh.
Subordinatif:
• sesudah
• sebelum
• sementara
• jika
• agar
• supaya
• meskipun
• alih-alih
• sebaga
• sebab
• karena
• maka
(1)   Lebih jauh lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas semua yang mereka punyai (harta dan keluarga yang utuh), sementara ada orang-orang yang tidak berpunya seperti Rara
(2)   Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat jika dibandingkan dengan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/keluar.
(3)   Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat,
(4)   si miskin diwakili oleh tokoh Rara, gadis cilik yang sesekali bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis
(5)   tempat Aldo belajar. sebab itu, perbedaan si miskin dan si kaya dalam film ini adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-berpunya.
Korelatif:
• Baik …
maupun …,
• tidak hanya
…, tetapi
….
• demikian
(rupa) …
sehingga …
• entah …,
entah …
• jangankan …,
… pun
(1) Layaknya dongeng anak-anak dalam majalah Bobo, film “Rumah
Tanpa Jendela” menyampaikan ajaran moral pada anak-
anak untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat
yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur
sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/mental
(2)
Antarkalimat:
• sungguhpun
demikian
• sekalipun
demikian
• meskipun
demikian
• selanjutnya
• sesudah itu
• setelah itu
• di samping itu
• sebaliknya
• akan tetapi
(1) Dengan begitu, mereka melakukan kewajiban membalas
budi tanpa perlu mengorbankan kenyamanan dengan
berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara dekat.
(2) Sementara itu, Rara mewakili narasi kemiskinan dalam segala
keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela, sekolah
seadanya, kerja sampingan
(3)
































10.     
Preposisi
Kalimat
Di
(1) Rara tinggal di sebuah rumah tidak berjendela yang terbuat dari
seng, tripleks, dan kayu bekas di salah satu kawasan permukiman
kumuh.
(2) Kondisi rumah tersebut membuat Rara terobsesi untuk memiliki
sebuah rumah berjendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal
di kemudian hari.
(3) Tradisi film musikal yang dikembangkan di Hollywood mengacu pada kecenderungan film-film musikal klasik
(4) gadis
cilik yang sesekali bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis tempat Aldo belajar.
Dari
(1) Kisah di dalam film tersebut terinspirasi dari model biner dalam
dongeng moral berjudul The Prince and The Pauper karya Mark
Twain.
(2) Sang pangeran adalah tokoh Aldo, seorang anak laki-laki dari
keluarga kaya-raya dengan sindrom mental, yang membuatnya
mengalami “penolakan” dari komunitasnya (anggota keluarga).
(3) Rara tinggal di sebuah rumah tidak berjendela yang terbuat dari seng, tripleks, dan kayu bekas di salah satu kawasan permukiman kumuh.
(4) anak-anak menjadi “penanda” dari kelahiran atau takdir manusia.
Pada
1) Dongeng semacam inilah yang ditawarkan Rumah Tanpa Jendela
pada penonton yang mereka sasar, tak lain tentu anak-anak kelas
menengah atas yang mampu mengakses bioskop sebagai bagian
dari leisure activity.
(2) Kekurangan pada diri Aldo yang mewakili aspek natural takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara
(3) Penekanan pada kolektivitas ini merupakan salah satu “karateristik” film musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ideide
(4) film musikal sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference).
Dengan
1) Permasalahan yang dimiliki anak-anak ini diperlihatkan sebagai
sesuatu yang alami dengan lebih menekankan cara menghadapi
permasalahan alih-alih mempertanyakan penyebabnya
(2) bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference).
(3) terutama berkaitan dengan gender, ras, agama, latar belakang, atau temperamen.
(4) . Sementara itu, kemewahan rumah Aldo dengan
banyak jendela menularkan obsesi untuk memiliki rumah berjendela di kalangan teman-teman Rara.
Secara
(1) Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu secara
tidak sengaja dalam sebuah kecelakaan kecil. Sejak itu mereka
bersahabat.
(2) dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/mental.
(3) kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara dekat
Tanpa
1) Jendela dalam film “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah
metafora yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang untuk
mengakses dunia lain (dari dalam atau dari luar) tanpa meninggalkan
tempatnya.
(2) Jendela memungkinkan seseorang untuk mengakses dunia lain (dari dalam atau dari luar) tanpa meninggalkan tempatnya.
(3) keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela, sekolah seadanya, dan kerja sampingan
Bagi
(1) Lebih jauh lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai
pelajaran yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka
harus bersyukur atas semua yang mereka punyai (harta dan
keluarga yang utuh), sementara ada orang-orang yang tidak
berpunya seperti Rara
(2)
(3)

11.   
artikel
kalimat
Sang
(1) Sang pangeran adalah tokoh Aldo, seorang anak laki-laki dari
keluarga kaya-raya dengan sindrom mental, yang membuatnya
mengalami “penolakan” dari komunitasnya (anggota keluarga).
(2) sang matahari pun sekarang sudah mulai nampak.
(3)sang kakala pun akan tiup pada suatu hari nanti
(4) sang bulan memancarkan sinar yang dipantulkan dari matahari
si
(1)   Dengan si miskin berlapang dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari kemalangan si miskin masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan tercipta.
(2)    Si cantik nan jelata yang kelak akan menemaninya
(3)   Si buruk rupa yang baik hatinya
(4)   Si gila yang semakin harinya menggila

12.   
Kalimat
contoh
Simplek
(1) Rumah itu ditempati Rara bersama neneknya (Si Mbok) dan ayahnya.
(2) Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.
(3)ia tidak percaya dengan perkataanya
(4)burung pu berkicau indah
komplek
(1) Logika pemaknaan tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam
kesenangan borjuis (pesta ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk
menemukan rumahnya habis terbakar, Si Mbok tergeletak koma
dan ayahnya meninggal dunia.
(2) Keinginan Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai
sebagai hasrat kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang,
justru dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi/mengingkari
takdirnya sebagai orang yang tidak berpunya.
(3) saat ia terlelap kakaknya tengah sibuk bekerja
(4)yang pergi bakerja sedangkan anaknya sedang beljar di sekolah

v  Tugas 3 hal 76

(1) Setelah membaca teks ulasan “Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis”, kalian
pasti bisa membayangkan seperti apa gambaran film “Rumah Tanpa Jendela”
tersebut. Pada bagian orientasi 1 dijelaskan tradisi oposisi biner tampak pada
film musikal anak-anak tersebut. Dapatkah kalian menjelaskan oposisi biner
yang seperti apa yang dimaksudkan?

Oposisi biner yang berkaitan dengan gender, ras, agama latar belakan atau, temperamen. Serta tokoh yang memilki hal yang berlawanan
(2) Dapatkah kalian menjelaskan makna paragraf pada orientasi 2?

Kisah dalam film tersebut terinspirasi dari model biner dalam
dongeng moral berjudul The Prince and The Pauper karya Mark
Twain. Sang pangeran adalah tokoh Aldo. Sementara itu, si miskin diwakili oleh tokoh Rara.
(3) Apa yang dimaksud dengan tradisi opposite attracks pada tafsiran isi 1?

Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu secara
tidak sengaja dalam sebuah kecelakaan kecil. Sejak saat itu, mereka
bersahabat. Persahabatan tersebut bukan hanya pertemanan
antarindividu, melainkan pertemuan dua kutub latar belakang status
sosial yang berbeda
(4) Dapatkah kalian menjelaskan makna kalimat: Layaknya dongeng anak-anak
dalam majalah Bobo, film “Rumah Tanpa Jendela” menyampaikan ajaran
moral pada anak-anak untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat
yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi
maupun kondisi fisik/mental (tafsiran isi 2)?

Dalam film tersebut layaknya sama seperti majalah bobo, karena berisi tentang nasehat, petuah sebuah ajaran moral untuk anak-anak dalam kegiatan bermasyarakat sosial yang bercampur dan ber kontaminasi dengan banyak perbedaan dalam banyak perbedaan.
(5) Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai keinginan yang berlebihan ketika
ia “dihukum” dengan kompensasi yang harus ia bayar (tafsiran isi 3). Apa
maksudnya kata dihukum pada kalimat tersebut?

Maksud kata dari dihukum itu adalah diberi hukuman/ ganjaran.
(6) Lalu apa pula makna kata membayar pada kalimat: Oleh karena itu, untuk
“membayar” pelajaran yang mereka dapat ini, keluarga Aldo menolong Rara
dan Si Mboknya dengan membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan
penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta (tafsiran isi 4)?

Maksud kata membayar tersebut adalah diberi imbalan atas perbuatnnya atau diberi hadiah. Atau bisa juga di beri balasan atas perbuatannya.
7) Setujukah kalian bahwa film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian
dari takdir manusia? Coba jelaskan pendapat kalian!

Tidak. Karena sebuah takdir juga bisa dirubah dengan syarat kita yakin dan berusaha untuk mencapainya
(8) Mengapa kata jendela pada film “Rumah Tanpa Jendela” dikatakan sebagai
sebuah metafora yang mengena oleh penulis teks ulasan tersebut?

Jendela memungkinkan seseorang untuk
mengakses dunia lain (dari dalam atau dari luar) tanpa meninggalkan
tempatnya. Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat jika
dibandingkan dengan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/
keluar. Jendela adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu
kondisi.
(9) Dapatkah kalian menjelaskan makna kalimat pada tafsiran isi 7: Karena hanya
dalam kondisi itulah, si kaya termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya
memperkaya diri mereka; dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tidak
tampak’ di depan mata?

Dongeng semacam inilah yang ditawarkan “Rumah Tanpa Jendela” pada penonton yang mereka sasar, tidak lain tentu anak-anak kelas menengah atas yang mampu mengakses bioskop sebagai bagian dari leisure activity. Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai
manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat, yang kemiskinan dan kekayaan ternaturalisasi sebagai takdir dan karenanya tidak perlu dipertanyakan.sehinnga si kaya dapat menutupi si miskin walau ada tapi tidak tampak.
(10)Coba kalian buat rangkuman teks ulasan tersebut dengan bahasa kalian sendiri!
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
___________________________________________.



v  Hal 88-91

No
Struktu teks “ belajar ikhlas dari “ Hafalah Sholat Delisa”
1
Orientasi :
Pagi hari dalam sebuah ruang sekolah di Lhok Nga, desa kecil di Pantai
Aceh, pada 26 Desember 2004, Delisa (Chantiq Schagerl) berupaya khusyu
menjalankan praktik shalat di depan Ustad Rahman dan Ustazah Nur yang
mengujinya. Ibunya, Ummi Salamah (Nirina Zubir), bersama beberapa ibu
lainnya menyaksikan dari luar jendela. Ucapan Sang Ustad sebelumnya agar
dia tetap fokus pada shalat meski apapun yang terjadi di sekelilingnya benarbenar
ditaati gadis kecil itu. Termasuk juga gempa yang mengguncang dan
plafon atap mulai berjatuhan. Bahkan ketika ustad Rahman dan guru penguji
lain lari keluar dan teriakan panik ibunya tidak membuatnya beranjak. Dia tetap
membaca doa shalat yang dihafalnya. Air bah tsunami pun meluluhlantakkan
tempat itu dan menenggelamkan Delisa.
2
Tafsiran:
Scene yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa”—jangan bandingkan
dengan teknologi 3D film Amerika untuk mendeskripsikan tsunami tersebut—
membuat saya terhenyak. Seandainya saja saya yang shalat pada saat terjadi
bencana, apakah saya akan lari atau tetap shalat dengan risiko mati dalam keadaan shalat sulit dibayangkan. Film berlatar belakang bencana tsunami
yang melanda Aceh dan berbagai tempat di Asia Tenggara ini menewaskan
ratusan ribu jiwa dan meninggalkan duka yang mendalam.

 Film ini dibuka dengan beberapa adegan manis dua hari sebelum malapetaka itu.
Delisa tinggal bersama Ummi dan tiga kakaknya, Fatimah (Ghina Salsabila), dan
si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi). Abi
Usman, ayahnya (Reza Rahadian), bekerja di sebuah kapal tangker asing nun jauh
dari tempat tinggal mereka. Delisa digambarkan sulit melakukan hafalan shalat,
dibangunkan shalat subuh juga susah. Umminya sampai menjanjikan sebuah
kalung berhuruf D yang dibeli dari toko milik Koh Acan (dimainkan dengan
menarik oleh Joe P Project), jika Delisa lulus ujian praktik shalat. Seperti anakanak
kecil umumnya, Delisa senang bermain. Dia ingin belajar bersepeda dari
Tiur dan bermain bola dengan Umam. Saya suka dengan akting Nirina Zubir
yang mampu menghidupkan spontanitas seorang ibu ketika Aisyah cemburu
pada Delisa atau Delisa sedang sedih. Ia juga menjadi imam ketika shalat bersama
putri-putrinya. Awalnya akting anak-anak ini agak kaku, namun Nirina mampu
membuat suasana hidup. Segmen ini milik Nirina.

Setelah tsunami menghantam, Delisa diselamatkan seorang ranger (tentara)
Amerika Serikat bernama Smith (Mike Lewis). Sayang, kaki Delisa harus
diamputasi. Dia juga dikenalkan dengan Sophie, relawan asing lainnya yang
bersimpati pada Delisa. Delisa tahu bahwa ketiga kakaknya sudah pergi ke
surga, juga Tiur dan ibunya, serta ustazah Nur. Semua digambarkan dengan
surealis melintas sebuah gerbang di lepas pantai menunju negeri dengan mesjid
yang indah. Namun keberadaan ibunya masih misteri. Melihat keadannya,
Smith ingin mengadopsi Delisa. Lelaki itu ingat putrinya yang mati dalam
kecelakaan bersama ibunya. Namun kemudian ayahnya datang. Dia kemudian
harus membangun hidupnya kembali bersama putrinya sebagai single parent.

“Hafalan Shalat Delisa” tidak terjebak dengan melodrama yang klise. Ada
kesedihan yang membuat air mata keluar, tetapi hidup tetap harus berjalan.
Delisa dengan kaki satu berupaya tegar, termasuk juga membangkitkan
semangat Umam yang remuk dengan bermain bola. Gadis ini juga memberi
inspirasi pada ustad Rahman yang sempat patah semangat. Percakapan ustad
Rahman dengan Sophie di kamp pengungsi menjadi adegan menyentuh
lainnya. “Mengapa Allah menurunkan bencana ini?” Kira-kira demikian
keluhan ustad itu. Sophie menjawab, “Coba tanya Delisa. Dia kehilangan tiga
kakaknya, ibunya, sebelah kakinya, tetapi dia ingin bermain bola.”

 Pada segmen ini, akting Chantiq Schagerl memukau. Aktingnya mengingatkan
pada Gina Novalista dalam “Mirror Never Lies” yang menjadi nominasi
artis terbaik FFI 2011. Dia mampu mengimbangi akting Reza Rahadian
yang memang gemilang sebagai seorang ayah yang sempat remuk hatinya.
Scene ketika ayahnya membawa Delisa di reruntuhan rumah mereka sangat menggigit. “Abi akan bangun rumah kita lagi!” dengan tegas ayahnya berkata.
Adegan ketika Usman gagal membuat nasi goreng yang seenak buatan Ummi
juga menarik. Betapa susahnya menjadi single parent bagi seorang laki-laki.
Termasuk ketika air mata saya tidak bisa dibendung lagi melihat adegan Delisa
memeluk ayahnya, “Delisa cinta Abi karena Allah!”

Kehadiran Koh Acan juga menghidupkan suasana. Hal ini merupakan human
interest dalam film ini. Ketika dia menawarkan bakmi buatannya pada Delisa di
kamp pengungsian memberikan kesegaran. Begitu juga dia menengok Delisa
yang sakit karena kehujanan. Tentunya membawakan bakmi kesukaannya.
3
Evaluasi :
Film ini menuju sebuah ending apakah umminya selamat atau setidaknya
ditemukan tubuhnya. Hal ini juga begitu menggetarkan. Namun, apapun itu
Delisa digambarkan sebagai sosok yang ikhlas. Tentunya dia juga bertekad
menuaikan janjinya menyelesaikan hafalan shalatnya. “Delisa shalat bukan
demi kalung, tetapi ingin shalat yang benar.
4
Rangkuman :
Film yang diangkat dari novel laris karya Tere Liye ini merupakan film akhir
tahun dan sekaligus juga film menyambut awal tahun 2012 yang manis. Cocok
diputar untuk menyambut peringatan tsunami sekaligus juga hari ibu.

No
Struktu teks “ Gara-Gara Kemben, film “gending Sriwijaya’ diprotes budayawan ”
1
Orientasi :
“Apa orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang setidak-tidaknya pernah
memperkenalkan kasih sayang, kelembutan cinta....”
“Apa kamu pikir orang-orang itu dilahirkan oleh seorang ibu?”
“Apa mereka lahir dari batu?”
“Mereka dilahirkan oleh rahim kekejaman.”

Dialog itu diucapkan tokoh Ibu dan Bapak yang diperankan Niniek L. Karim
dan Landung Simatupang dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”
Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno
Gumira Ajidarma. Banyak penonton berkaca-kaca matanya menyaksikan pementasan drama sepanjang 75 menit itu, yang selama itu pula suasana
dicekam oleh kepiawaian akting dua aktor andal itu, yang satu dari Jakarta
dan satu lagi dari Yogyakarta..
2
Tafsiran:
Drama ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM),
Jakarta, 6—8 Agustus 2001, dan setelah itu digelar di Societeit, Taman Budaya,
Yogyakarta, 16—18 Agustus. Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan Seni
Indonesia bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan).

Panggung diisi oleh garapan artistik dari tokoh yang juga jarang muncul,
yakni Chalid Arifin, lulusan Institut Des Hautes Etudes Cinematographiques,
Perancis. Suasananya serba minimalis, sampai ke tata lampu maupun garapan
musik oleh Tony Prabowo yang dimainkan oleh Budi Winarto dengan saksofon
soprannya.

Drama tersebut diilhami oleh peristiwa penculikan aktivis di era Orde Baru-
Soeharto. Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” berwujud obrolan antara
tokoh suami dan istri yang anaknya diculik dan belum kembali. Obrolan terjadi
menjelang tengah malam. Bapak mengenakan sarung dan berkaus oblong,
sedangkan Ibu bergaun panjang.

Kalau dilihat secara sederhana, obrolan terbagi dua fase: fase pertama
menyangkut tindak kekejaman secara umum yang dilakukan oleh tentara,
fase kedua memfokuskan pada kehidupan Ibu-Bapak itu, yang anaknya, Satria
(diperankan oleh korban penculikan yang sebenarnya, aktivis Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, Nezar Patria) hilang diculik penguasa.

Berlatarkan pada situasi politik sekarang yang cenderung ingin melupakan
korban-korban penculikan yang sampai kini tak ketahuan rimbanya, drama
ini serentak menemukan relevansi sosialnya. Dengan langsung menunjuk
peristiwa-peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia termasuk
pada tahun 1965, drama ini sendiri lalu seperti berada di wilayah “kesenian
kontemporer” dengan sifat khasnya: meleburnya batas antara kesenian dan
kehidupan nyata; antara ruang pribadi dan ruang publik; dan seterusnya. Apa
yang dialami si Ibu-Bapak Niniek dan Simatupang, adalah juga pengalaman
sehari-hari sekian orangtua yang kehilangan anak-anaknya, anak yang
kehilangan bapaknya, diculik oleh genderuwo penguasa politik.

“Ini hanya sebuah kopi dramatik dari peristiwa yang sebenarnya,” kata
Seno Gumira. Seno sendiri yang lebih dikenal khalayak sebagai penulis
cerpen sebenarnya juga pernah menggauli penulisan naskah drama. Ia
pernah bergabung dengan Teater Alam, Yogyakarta, pimpinan Azwar A.N.
pada pertengahan 1970-an. Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul
“Pertunjukan Segera Dimulai” pada 1976. Belakangan, ia mementaskan
“Tumirah Sang Mucikari” (1998) yang diilhami oleh huru-hara politik di
Tanah Air.

“Mengapa Kau Culik Anak Kami?” sendiri, dari segi naskah dan strategi
pementasan, boleh jadi oleh penulis dan sutradaranya tidak langsung
diparadigmakan dalam gagasan-gagasan yang mendasari peleburan batas
kesenian dan kehidupan seperti diwacanakan oleh seni kontemporer. Suasana
penantian, misalnya, mungkin masih seperti mengacu pada “modernisme”
Becket, taruhlah dalam Waiting for Godot..
3
Evaluasi :
Namun, para pendukung, katakanlah Niniek, Simatupang, serta tidak
ketinggalan penata musik, Tony Prabowo, dengan kematangannya telah
menjembatani apa yang bisa dicapai naskah tersebut dengan publiknya. Ini
masih didukung adegan sekilas yang menjadi penting, ketika Nezar Patria
tiba-tiba muncul di panggung beberapa detik. Sementara saksofon yang
melengkingkan blues oleh Budi Winarto yang menandai pergantian babak,
setiap saat menggarisbawahi, betapa pahit dan mengenaskan sebetulnya hidup
di republik ini. Itulah yang membuat hati banyak orang teriris dan sebagian
menjadi sembab matanya ketika keluar dari gedung pertunjukan..
4
Rangkuman :
Di panggung, Niniek berujar, “Sudah setahun lebih. Setiap malam aku
berdoa mengharapkan keselamatan Satria, hidup atau mati. Aku hanya ingin
kejelasan....” Sementara Simatupang berdiri, maju ke ujung panggung dan
bermonolog, “Mengapa kau culik anak kami? Apa bisa pertanyaan ini dijawab
oleh seseorang yang merasa memberi perintah menculiknya?” Pertanyaan itu
belum terjawab di atas pentas. Juga di luar pentas

No
Struktu teks “’ Mengapa Kau Culik Anak Kami ?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”
1
Orientasi :
Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai
kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan
protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan
Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu
juga dianggap keliru. “Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi
pembiasan sejarah,” tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi
Rangkuti, Minggu (21/10/2012)..
2
Tafsiran:
Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD senilai
Rp11 miliar. Dalam anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film
dokumenter. Setelah selesai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film
dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerja sama kedua setelah
film “Mengejar Angin”.

 Nurhadi menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi). Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja.

 “Pertentangan dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada
serangan dari luar kerajaan,” tegas Nurhadi. Ketua Yayasan Kebudayaan
Tandipulau, Erwan Suryanegara, protes lebih keras. “Saya berani pasang leher
untuk menentang film ini,” katanya.

 Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengadaada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya. Dua hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending Sriwijaya merupakan nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan Sukainah Arozak, syair diciptakan A. Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi. “Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu di antara keduanya jauh, berabad-abad,” jelasnya..
3
Evaluasi :
Erwin mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis skenario
film karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan
latar belakang sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan
kostum yang dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain
mengenakan pakaian yang tidak bercirikan pakaian Melayu ketika itu. “Kemben
yang digunakan itu bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi
kami, pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak
mandi,” ungkap budayawan yang juga menjadi pengajar di Palembang ini..
4
Rangkuman :
Sama seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan
yang diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film
Gending Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang
anak Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (diperankan Slamet Rahardjo), yakni
Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan).
“Tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja
Kerajaan Sriwijaya,” tegasnya.

No
Judul teks ulasan
kelebihan
kekurangan
Jalan keluar

1
“ belajar ikhlas dari “ Hafalah Sholat Delisa”
a) Scene yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa”
b) akting Nirina Zubir
yang mampu menghidupkan spontanitas seorang ibu
a) Penggambaran
tsunami tidak
maksimal
b) akting anak-anak ini agak kaku
a) jangan bandingkan
dengan teknologi 3D film Amerika untuk mendeskripsikan tsunami tersebut_____________
b) Awalnya akting anak-anak ini agak kaku, namun Nirina mampu
membuat suasana hidup. Segmen ini milik Nirina

2
“ Gara-Gara Kemben, film “gending Sriwijaya’ diprotes budayawan ”
a) Tender film dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerja sama kedua setelah film “Mengejar Angin”.
b) menjelaskan cerita tentang kerajaan.
c) kisahnya mengingat tentang sejarah.
a) Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai
kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan
protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan
Sriwijaya.
b) kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita
pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja
c) kisah yang diceritakan terkesan mengadaada
karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan
Sriwijaya.
d) _____________
e) _____________
a) Harus ada
revisi sebelum
ditayangkan
b) sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak
pernah terjadi pertentangan.
c) perlu adanya pengetahuan tetntang sejarah terlebih dahulu sebelum membuatnya.

3
“’ Mengapa Kau Culik Anak Kami ?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”
a) Banyak
penonton
berkaca-kaca
menyaksikannya
b) _____________
c) _____________
d) _____________
e)______________
a) _____________
b) _____________
c) _____________
d) _____________
e) ____________
a) _____________
b) ____________
c) _____________
d) _____________
e) _____________


No
Kalimat
Benar
Salah
1
Scene yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa” membuat saya terhenyak.
ü   

2
Aktingnya mengingatkan pada Gina Novalista dalam Mirror Never Lies yang menjadi nominasi artis terbaik FFI 2011.

ü   
3
Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno Gumira Ajidarma.
ü   

4
Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul Pertunjukan Segera Dimulai pada 1976.
ü   

5
Belakangan, ia mementaskan “Tumirah Sang Mucikari” (1998) yang diilhami oleh huru-hara politik di Tanah Air.
ü   

6
Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi.
ü   

7
 Ini kerja sama kedua setelah film “Mengejar Angin”.
ü   

8
Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD.
ü   

9
Film “Hafalan Shalat Delisa” diangkat dari novel yang berjudul sama, Hafalan Shalat Delisa.
ü   

10
Nurhadi menilai kelemahan film “Gending Sriwijaya” terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja
ü   



vHal 95-96

No
Struktu teks “Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat
1
Orientasi :
“Gundala Gawat” karya budayawan Goenawan Mohamad (GM) diadaptasi dari
serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. GM menganggap ini adalah
karya guyonan belaka. “Sesekali kita boleh to, merenungkan sesuatu dengan
cara yang guyonan,” kata GM, “semua terserah pada pencernaan penonton.” Seperti diakui oleh si seniman dari Njogja yang kondang karena karakternya yang unik dan kuat meniru berbagai logat dan karakter pengucapan tokohtokoh nomer satu Indonesia, bahwa, ”Pementasan naskah ini oleh Teater Gandrik adalah sebuah tawaran  bagi publik untuk menafsirkan nilai-nilai sebuah esensi,” kata Butet Kartaredjasa, “apakah guyonan ala kami sama denganguyonan gaya OVJ.”
2
Tafsiran:
Mendengarkan ucapan kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik
itu, terbayang bagi saya untuk mencernanya ke dalam keseluruhan peristiwa
pementasan itu di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16—17 April 2013.
Terdapat beragam tanggapan dan respon masyarakat setelah menyaksikannya.
Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara umum, memberikan
nilai plus. Begitupun saya rasa, dari sekian penonton yang antusias menikmati
suguhan seni ala nJogja itu.

Harian Suara Merdeka melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang, memberikan
judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan
itu. Namun toh, isi dari kandungan tulisan Sony lebih menekankan pada
tajuk ”Gundala”, dalam cerita yang ditulis Goenawan Mohamad ini menjadi
sosok yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Dan sebagai
teater modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah, tapi dagelan Jogja
terutama plesetannya adalah ”kewajiban”. Cerita ”Gundala Gawat” setidaknya
memberikan sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Pertama
kelompok koruptor, pengalihan isu dari wabah petir, dan idealisme yang tidak
laku.”

 Begitupun, Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan
sebuah data, seperti lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik
tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Untung Basuki,
aktor kawakan Bengkel Teater Rendra era 1980—1990-an, ketika saya mintai
pendapat, hanya menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya ndak habis pikir, GM,
membuat adaptasi naskah teater yang seperti itu,” katanya.

Dan kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar
negeri juga memberikan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah
saya pahami maksudnya. Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya.
Sehingga agak luput seperti apa yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis
oleh seorang GM.”

Almarhum Rendra memberikan pengertian kepada saya dalam sebuah
pendapatnya, ”Yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama adalah
bagaimana kejelian sutradara mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi yang
terbentuk akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut
ke dalam semangat pertunjukan.”

Menyaksikan secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala
Gawat” dari sejak gladi resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan
mensinergikan dalam pemahaman saya mencerna apa yang dikatakan Rendra
dalam kredonya tersebut, cukup berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan
perannya sebagai sutradara. Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi
dimunculkan dari kreativitas yang aneka. Dari pengolahan plot yang saling
sinambung dan terjaga. Dari abstraksi, klimaks dan anti klimaks, cukup
mengalir memberikan tanya yang berjawab bagi benak segenap penonton.

Naik turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan
cahaya atau lighting yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya
olahan permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. Apalagi
dengan gaya sampakan atau akting semau gua yang akhirnya menjadi ciri khas
para ”gandriker” yang sesekali meloncat dari naskah. Berupa celotehan dan
spontanitas yang kontekstual dengan alur. Tentu saja fragmen begini, yang
selalu menjadi ciri mereka dan ditunggu para pecinta dan fans beratnya untuk
menghasilkan senyum dan bahkan tawa ngakak. Apalagi telah dua tahun grup
teater dari Njogja ini, absen dari perhelatan, dan ditinggal pergi Heru Kesawa
Murti, salah satu dedengkotnya, yang meninggal dalam usia 54 tahun karena
sakit. Menjadikan pementasan yang emosional bagi para anggota Gandrik,
kiranya, seperti ingin menunjukkan sebuah semangat, “Teater Gandrik akan
terus hidup dan berpentas!”Mendengarkan ucapan kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik itu, terbayang bagi saya untuk mencernanya ke dalam keseluruhan peristiwa pementasan itu di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16—17 April 2013. Terdapat beragam tanggapan dan respon masyarakat setelah menyaksikannya. Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara umum, memberikan nilai plus. Begitupun saya rasa, dari sekian penonton yang antusias menikmati suguhan seni ala nJogja itu.

 Harian Suara Merdeka melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang, memberikan
judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan
itu. Namun toh, isi dari kandungan tulisan Sony lebih menekankan pada
tajuk ”Gundala”, dalam cerita yang ditulis Goenawan Mohamad ini menjadi
sosok yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Dan sebagai
teater modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah, tapi dagelan Jogja
terutama plesetannya adalah ”kewajiban”. Cerita ”Gundala Gawat” setidaknya
memberikan sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Pertama
kelompok koruptor, pengalihan isu dari wabah petir, dan idealisme yang tidak
laku.”

Begitupun, Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan
sebuah data, seperti lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik
tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Untung Basuki,
aktor kawakan Bengkel Teater Rendra era 1980—1990-an, ketika saya mintai
pendapat, hanya menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya ndak habis pikir, GM,
membuat adaptasi naskah teater yang seperti itu,” katanya.

Dan kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar
negeri juga memberikan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah
saya pahami maksudnya. Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya.
Sehingga agak luput seperti apa yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis
oleh seorang GM.”

Almarhum Rendra memberikan pengertian kepada saya dalam sebuah
pendapatnya, ”Yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama adalah
bagaimana kejelian sutradara mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi yang
terbentuk akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut
ke dalam semangat pertunjukan.”

Menyaksikan secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala
Gawat” dari sejak gladi resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan
mensinergikan dalam pemahaman saya mencerna apa yang dikatakan Rendra
dalam kredonya tersebut, cukup berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan
perannya sebagai sutradara. Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi
dimunculkan dari kreativitas yang aneka. Dari pengolahan plot yang saling
sinambung dan terjaga. Dari abstraksi, klimaks dan anti klimaks, cukup
mengalir memberikan tanya yang berjawab bagi benak segenap penonton.

Naik turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan
cahaya atau lighting yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya
olahan permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. Apalagi
dengan gaya sampakan atau akting semau gua yang akhirnya menjadi ciri khas
para ”gandriker” yang sesekali meloncat dari naskah. Berupa celotehan dan
spontanitas yang kontekstual dengan alur. Tentu saja fragmen begini, yang
selalu menjadi ciri mereka dan ditunggu para pecinta dan fans beratnya untuk
menghasilkan senyum dan bahkan tawa ngakak. Apalagi telah dua tahun grup
teater dari Njogja ini, absen dari perhelatan, dan ditinggal pergi Heru Kesawa
Murti, salah satu dedengkotnya, yang meninggal dalam usia 54 tahun karena
sakit. Menjadikan pementasan yang emosional bagi para anggota Gandrik,
kiranya, seperti ingin menunjukkan sebuah semangat, “Teater Gandrik akan
terus hidup dan berpentas!”
3
Evaluasi :
Hanya saja, saya melihat, bahwa, Susilo Nugroho, yang akrab dikenali sebagai
si Den Baguse Ngarso dan menjadi pemeran Gundala, dalam beberapa adegan
nampak kedodoran, berakting tidak seperti biasanya. Bagaimana pun, ialah
aktor utama dalam pelakonan pentas itu. Jika semangatnya naik turun, pastilah
berakibat bagi yang lain untuk naik turun. Seringkali ia melakukan hal yang
fatal. Yaitu terlambat masuk ke dalam timing. Sehingga naskah yang semestinya
lucu secara naskah, lantas tak menghasilkan senyum atau ketawa penonton,
alias hambar-hambar saja. Begitupun, adegan yang semestinya dramatis.
Menyepikan suasana untuk memberi nuansa tragis, atau sitegang sebagai
gambaran tajamnya persoalan peristiwa, jadi naik turun pula maknanya dalam
pencernaan penonton.

Untungnya ada Butet Kartaredjasa, seperti yang saya lihat bermain nyaris
prima dan konsisten. Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia
sedikit down untuk memberi nuansa dramatis pada ending pementasan.
Sebagaimana karakternya yang kuat, yaitu bersuara besar dan serak, dan
pandai mengatur tempo pengucapan, jelaslah ia jago orasi yang mumpuni.
Sehingga pintar membetot sepenuhnya perhatian penonton. Hanya tertuju
kepadanya, begitulah misteri panggung itu jika sudah jinak. Namun, kali itu,
ia mengalami dilema, terlambat timing. Sehingga semestinya, kalimat terakhir
yang menggelegar dan giris itu, ”Kalau saja para superhero tidak lagi gagah
menyuarakan kebenaran. Titenono… sopo leno, tak petir ndasmu!” akan ikut
pula memalu dan menggodam perasaan penonton. Dan menjadikan sepi ruang
alam: alam panggung, alam Concert Hall, alam penonton, sesepi kuburan.
Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan
menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah lagi.
4
Rangkuman :
Secara umum, saya melihat, para aktor cukup mumpuni memainkan perannya.
Lucu, berisi dan kritis.Terhadap pernyataan GM, bahwa pelakonan ini seperti
bermakna guyonan belaka, saya rasa ada benarnya. Tapi juga sebuah pandangan
lain dari arti sebuah guyonan, bahwa, disampaikan dengan kaidah Teater Gandrik, terasa bedanya. Akumulasi dari keseluruhan kinerja jeli sang sutradara dan dibantu seperangkat artistik kepercayaannya, memungkinkan memberi cakrawala lain di hati dan benak pemirsa.

No
Kata/kalimat yang keliru atau mubazir
Kata/kalimat yang benar
1
Harian Suara Merdeka melalui tulisan
Sony Wibisono, tak kurang, memberikan
judul ”Idealisme Sepi Gundala
Njembling’” pada review terhadap
pementasan itu.
Harian Suara Merdeka,
melalui tulisan Sony Wibisono,
memberikan judul ”Idealisme
Sepi Gundala ’Njembling’” pada
review terhadap pementasan itu
2
Seringkali ia melakukan hal yang fatal.
Yaitu terlambat masuk ke dalam timing.
Seringkali ia melakukan hal fatal. Yaitu terlambat masuk ke dalam riming
3
Mendengarkan ucapan kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik
itu, terbayang bagi saya untuk mencernanya ke dalam keseluruhan peristiwa
pementasan itu di Concert Hall
Mendengarkan ucapan kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik, terbayang bagi saya untuk mencernanya dalam keseluruhan peristiwa
pementasan di Concert Hall
4
Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan
sebuah data, seperti lakon-lakon sebelumnya,
Harian Jawa Pos memuatnya sebagai headline, menekankan sebuah data, seperti lakon-lakon sebelumnya,
5
Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya.
Sehingga agak luput seperti apa yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis
oleh seorang GM.”
Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya.
Sehingga agak luput seperti apa saya bayangkan, ketika naskah ditulis oleh seorang GM.”
6
Berupa celotehan dan
spontanitas yang kontekstual dengan alur.
Berupa celotehan dan spontanitas  kontekstual dengan alur
7
pun, ialah
aktor utama dalam pelakonan pentas itu.
pun, ialah aktor utama pelakonan pentas.
8
Seperti diakui oleh si seniman dari Njogja yang kondang karena karakternya
yang unik dan kuat meniru berbagai logat dan karakter pengucapan tokohtokoh
nomer satu Indonesia,
Seperti diakui si seniman dari Njogja yang kondang karena karakternya unik dan kuat meniru berbagai logat dan karakter pengucapan tokoh-tokoh nomer satu Indonesia,
9
dalam cerita yang ditulis Goenawan Mohamad ini menjadi
sosok yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali.
cerita yang ditulis Goenawan Mohamad menjadi
sosok yang sangat dirindukan Hasmi dihidupkan kembali
10
Menyaksikan secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala
Gawat” dari sejak gladi resik
Menyaksikan utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala
Gawat” sejak gladi resik

3 komentar:

  1. Terima kasih, sangat membantu !

    BalasHapus
  2. Rasanya tak ada kata lain selain "Terima Kasih" - salam IdeRudi

    BalasHapus
  3. he, tafsirannya kok berulang ulang ya?

    BalasHapus