Bahasa Indonesia
Nama : Razi rustandi
SMAN 1 NAGREG
v Hal 55 no 1-10
1. Genre film yang ditawarkan dalam film “ Ruri model biner
dalam dongeng moral yang berjudul The prince and the pauper karya merk twain.mah
Tanpa Kaca “ itu adalah film musikal. Di negara Hollywood genre fil tersebut
dikembangkan.
2. Pembuatan film tersebut terinspirasi da
3. Tokoh utama dalam film tersebut adalah Aldo dan Rara
4. Yang diinginka Rara adalah memiliki rumah berjendela
5. Yang diinginkan Aldo adalah terpenuhinya kebutuhan fisiknya
6. Simbol yang tersirat dari persahabatan mereka adalah opposite attracks
7. Istilah tersebut adalah pertemuan kutub latar belakang
status sosial yang berbeda.
8. Peristiwa yang dialami Rara adalah ketika ia pulang untuk
menemukan rumahnya habis terbakar, Si Mbok tergeletak koma dan ayahnya
meninggal dunia.
9. Simbol yang tersirat adalah Logika pemaknaan
10. Pesan
moralnya adalah menyampaikan
ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat
yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi maupun
kondisi fisik/mental.
v Hal 60 no 1
a)orientasi tahap 1
1. Tradisi film musikal di kembangkan di hollywood mengacu pada
kecenderungan film-film musikal klasik tahun 1930-1960an
2. Berpaku pada hal-hal yang berlawanan (oposisi biner) yang
tampak dalam musikal anak-anak “Rumah Tanpa Jendela”
3. Film tersebut di adopsi dari “ jendela Rara”
b) orientasi tahap 2
1. Kisah dalam film tesebut terinspirasi dari model biner dalam
dongeng moral berjudul The Prince and The Pauper karya Mark twain.
2. Sang pangeran adalah tokoh aldo
3. Aldo mewakili ide paragraf keluarga berjouis yang pemenuhan
kebutuhan fisiknya berlebihan, tetapi jiwanya kering dan mengakibatkan dilema
personal.
4. Kondisi rumah yang rara tempati membuatnya terobsesi untuk
memiliki sebuah rumah yang berjendela. Sebuah impian yang harus ia bayar
dikemudian hari.
c) tafsira isi tahap 1
1. mengikuti tradisi opposite attracks, aldo dan rara bertemu
tidak sengaja dalam sebuah kecelakaan kecil.
2. Persahabatan mereka bukan hanya pertemanan individu,
melainkan pertemuan dua kutub status yang berbeda
d) tafsiran isi tahap 2
1.
Film tersebut menyampaikan ajaran
moral pada anak-anak untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat yang
tefragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial ekonomi maupun
kodisi fisik/mental.
2.
Fungsi
ideologis yang ditawarkan film musikal adalah resolusi dari ketakutan akan
perbedaan yang diwakili oposisi biner dalam naratif.
3.
Penyederhanaan
posisi berlawanan si miskin dan si kaya terwakili oleh narasi sosialekonomi
Aldo dan Rara.
4.
perbedaan
si miskin dan si kaya dalam film ini adalah ia yang berpunya dan ia yang
tak-berpunya
e) tafsiran isi tahap 3
1.
Dalam
film “Rumah Tanpa Jendela” sikap moral yang disarankan kepada penonton adalah
bersyukur.
2.
keinginan
Rara itu dimaknai sebagai keinginan yang berlebihan ketika ia “dihukum” dengan
kompensasi yang harus ia bayar. Logikapemaknaan tersebut bekerja ketika Rara
yang larut dalam kesenangan
3.
Keinginan
Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan yang
lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang
menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai orang yang tidak berpunya
f) tafsiran isi tahap 4
1. kemalangan Rara
tersebut digunakan sebagai pelajaran yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo,
bahwa mereka harus bersyukur atas semua yang mereka punyai (harta dan keluarga
yang utuh)
2. sementara ada
orang-orang yang tidak berpunya seperti Rara. Oleh karena itu, untuk “membayar”
pelajaran yang mereka dapat ini,
3. mereka melakukan
kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan kenyamanan dengan berbagi
kepemilikan ataupun terlibat secara dekat.
g) tafsiran isi tahap 5
1.
Dalam
model utopia (khayalan) yang terdapat di dalam film tersebut, anak-anak menjadi
“penanda” dari kelahiran atau takdir manusia.
2.
ermasalahan
yang dimiliki anak-anak ini diperlihatkan sebagai sesuatu yang alami dengan
lebih menekankan cara menghadapi permasalahan alih-alih mempertanyakan
penyebabnya.
3.
posisi
biner permasalahan Aldo dan Rara.
4.
Aldo
yang mewakili aspek natural takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara sehingga
membuat kemiskinan ternaturalisasikan lewat logika pemahaman yang sama,
5.
alih-alih
hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung negara, film ini
menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia
h) tafsiran isi tahap 6
1.
Jendela
dalam film “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah metafora yang mengena.
Jendela memungkinkan seseorang untuk mengakses dunia lain (dari dalam atau dari
luar) tanpa meninggalkan tempatnya.
2.
Jendela
memungkinkan orang melihat, bukan terlibat jika dibandingkan dengan pintu yang
menyediakan akses untuk masuk/ keluar.
3.
Jendela
adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi.
4.
Dengan
si miskin berlapang dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari
kemalangan si miskin, masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan tercipta.
i) tafsiran isi tahap 7
1.
pada
penonton yang mereka sasar, tidak lain tentu anak-anak kelasmenengah atas yang
mampu mengakses bioskop sebagai bagiandari leisure activity.
2.
Sebuah
dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar mereka nanti
terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan bisa
meneruskan tatanan masyarakat, yang kemiskinan dan kekayaan ternaturalisasi
sebagai takdir dan karenanya tidak perlu dipertanyakan.
3.
si
kaya termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya diri mereka;
dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tidak tampak’ di depan mata.
v Hal 62
1.
no
|
Film"Rumah Tanpa Jendela"
|
||
pujian
|
kritikan
|
||
1
|
Jendela
dalam film “Rumah Tanpa
Jendela” merupakan sebuah metafora yang mengena |
Sayang,
sebagai sebuah film musikal, tidak
banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini, kecuali penekanan dramatis belaka. |
|
2
|
Dalam hal
ini film musikal mengalami konsep film yang menghibur sebagai utopia
sendiri
|
Namun
pertanyaanya adalah utopia menurut siapa
|
|
3
|
kemiskinan Rara
sehingga membuat
kemiskinan
ternaturalisasikan lewat logika pemahaman yang sama
|
film
ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia
|
|
v Hal 64
no
|
kosa kata
|
Arti
Kosakata
|
|
1
|
adaptasi
|
penyesuaina
terhadap lingkungan, pekerjaan, dan pelajaran
|
|
2
|
akses
|
jalan masuk
|
|
3
|
bioskop
|
gedung pertunjukan film cerita
|
|
4
|
borjuis
|
kelas masyarakat dr golongan
menengah ke atas
|
|
5
|
destruktif
|
merusak, memusnahkan, atau
menghancurkan
|
|
6
|
eksploitasi
|
pemanfaatan untuk keuntungan
sendiri; pengisapan; pemerasan
|
|
7
|
fragmentasi
|
pencuplikan (cerita dsb)
|
|
8
|
gender
|
gamelan Jawa yg dibuat dr
bilah-bilah logam berjumlah empat belas buah dng penggema dr bambu
|
|
9
|
harmonis
|
bersangkut
paut dng (mengenai) harmoni; seia sekata;
|
|
10
|
inspirasi
|
ilham
|
|
11
|
klasik
|
mempunyai nilai atau mutu yg
diakui dan menjadi tolok ukur kesempurnaan yg abadi; tertinggi
|
|
12
|
kolektif
|
secara bersama; secara gabungan
|
|
13
|
koma
|
keadaan tidak sadar sama sekali dan tidak mampu memberi
reaksi thd suatu rangsangan (krn keracunan, sakit parah, dsb)
|
|
14
|
kompensasi
|
ganti rugi
|
|
15
|
kutub
|
ujung poros atau sumbu bum
|
|
16
|
logika
|
jalan pikiran yg masuk akal
|
|
17
|
metafora
|
pemakaian kata atau kelompok kata
bukan dng arti yg sebenarnya, melainkan sbg lukisan yg berdasarkan persamaan
atau perbandingan
|
|
18
|
model
|
pola (contoh, acuan, ragam, dsb)
dr sesuatu yg akan dibuat atau dihasilkan
|
|
19
|
obsesi
|
gangguan jiwa berupa pikiran yg
selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan
|
|
20
|
oposisi
biner
|
berpaku pada
hal-hal yang berlawanan
|
|
21
|
paradoks
|
pernyataan yg seolah-olah
bertentangan (berlawanan) dng pendapat umum atau kebenaran, tetapi
kenyataannya mengandung kebenaran
|
|
22
|
protektif
|
bersangkutan dng proteksi;
bersifat melindungi
|
|
23
|
ras
|
golongan bangsa berdasarkan
ciri-ciri fisik; rumpun bangsa:
|
|
24
|
realita
sosial
|
Kehidupan
nyata/ fakta dalm kehidupan sosial
|
|
25
|
sindrom
|
himpunan gejala atau tanda yg
terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan tertentu;
hal-hal (spt emosi atau tindakan) yg biasanya secara bersama-sama membentuk
pola yg dapat diidentifikasi
|
|
26
|
sekolah
singgah
|
Tempat
belajar yang hanya menumpang
|
|
27
|
temperamen
|
sifat batin yg tetap mempengaruhi
perbuatan, perasaan, dan pikiran (periang, penyedih, dsb)
|
|
28
|
tradisi
|
adat kebiasaan turun-temurun (dr
nenek moyang) yg masih dijalankan dl masyarakat;
|
|
29
|
utopia
|
sistem sosial politik yg sempurna
yg hanya ada dl bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan
dl kenyataan
|
|
30
|
villa
|
rumah mungil di luar kota atau di
pegunungan; rumah peristirahatan (digunakan hanya pada waktu liburan)
|
2.
no
|
istilah asing
|
arti
|
1
|
leisure activity
|
Aktivitas yang
menyenangkan, dilakukan pada waktu
senggang
|
2
|
opposite attracks
|
attracks berlawanan
|
3
|
privilege
|
hak istimewa
|
4
|
self- reference
|
referensi diri
|
5
|
scene
|
tempat kejadian
|
6
|
taken-for-granted
|
diambil-untuk-diberikan
|
3.
Kata
dasar
|
Verba
|
Nomina
|
Ulas
|
Mengulas
|
Ulasan
|
Nilai
|
Menilai
|
Penilaian
|
Evaluasi
|
Mengevaluasi
|
Pengevaluasi
|
Kritik
|
mengkritik
|
Kritikan
|
Ukur
|
Mengukur
|
Ukuran
|
Komentar
|
mengomentari
|
Pengomentar
|
Tafsir
|
Menafsirkan
|
Tafsiran
|
Kupas
|
mengupas
|
kupasan
|
4.
Kata
|
antonim
|
Keterbatasan
|
Kelebihan
|
Ketidakadilan
|
Keadilan
|
Pertemanan
|
Permusuhan
|
Ketakutan
|
Keberanian
|
Penolakan
|
Penerimaan
|
Pertemuan
|
Perpisahan
|
Kemewahan
|
Kesederhanaan
|
Perusak
|
Perbaikan
|
Ketenangan
|
Kegaduhan
|
Pemenuhan
|
Pengosongan
|
Perbedaan
|
Persamaan
|
Si-
kaya
|
Si-Miskin
|
penyederhanaan
|
Penjabaran
|
kenyamanan
|
kegelisahan
|
5.
Kata
dasar
|
Verba
aktif
|
Verba
pasif
|
Kembang
|
Mengembangkan
|
Dikembangkan
|
Acu
|
Mengacukan
|
Diacuhkan
|
Paku
|
mempakukan
|
Dipakukan
|
Lawan
|
Melawan
|
Dilawan
|
Utama
|
Mengutamakan
|
Diutamakan
|
Kaitan
|
Mengaitkan
|
Dikaitkan
|
Adaptasi
|
Mengadaptasikan
|
Diadaptasikan
|
Inspirasi
|
Mengispirasikan
|
Diinspirasikan
|
Alami
|
Mengalamikan
|
Dialamikan
|
Jendela
|
||
Belajar
|
mengajarkan
|
diajarkan
|
Mukim
|
Memukimkan
|
dimukimkan
|
Obsesi
|
Mengobsesikan
|
diobsesikan
|
Gambar
|
Menggambarkan
|
digambarkam
|
Jalan
|
Menjalankan
|
Dijalankan
|
Rusak
|
Merusakan
|
dirusakkan
|
Tenang
|
Menenangkan
|
ditenangkan
|
mewah
|
memewahkan
|
dimewahkan
|
6.
Nomina dasar
|
|
Nomina
umum
|
Nomina
khusus
|
Film
|
sanggar
|
Rumah
|
Hollywood
|
Impian
|
Aldo
|
Keluarga
|
Rara
|
Majalah
|
Si
mbok
|
Buku
|
Komunitas
|
Jendela
|
Mobil
|
Negara
|
Krayon
|
Polisi
|
Kolam
renang
|
Villa
|
Kamera
|
jakarta
|
Bioskop
|
7.
Nomina turunan
|
|||||
Pe+N
|
Peng+N+an
|
N+an
|
Per+an
|
Ke+N+an
|
|
penanda
|
Penolakan
|
impian
|
permukiman
|
Kecenderungan
|
|
Penerimaaan
|
pemenuhan
|
rangkaian
|
Pertemanan
|
Kemewahan
|
|
penyederhanaan
|
Kalangan
|
persahabatan
|
kebutuhan
|
||
pelajaran
|
hiburan
|
permasalahan
|
kecelakaan
|
||
Pemaknaan
|
perbedaan
|
kepemilikan
|
|||
penawaran
|
kenyamanan
|
||||
8.
pronomina
|
Contoh kalimat
|
Orang ketiga:
ia
dan
-nya
|
1)
Namun,
keinginan Rara itu dimaknai sebagai keinginan yang berlebihan ketika ia “dihukum” dengan
kompensasi yang harus ia bayar.
2)
Logika
pemaknaan tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam kesenangan borjuis
(pesta ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk menemukan rumahnya habis terbakar, Si
Mbok tergeletak koma dan ayahnya meninggal dunia.
3)
Keinginan
Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan
yang lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang
menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai orang yang tidak berpunya.
4)
Kondisi rumah tersebut membuat Rara terobsesi untuk memiliki
sebuah rumah berjendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di
kemudian hari.
|
9.
adjektive
|
Prosa adjektival
|
Kumuh
|
Pemukiman kumuh
|
Kering
|
Jiwanya kering
|
Dramatis
|
Penekanan dramatis
|
Cilik
|
Gadis cilik
|
Destruktif
|
perilaku destruktif
|
Berlebihan
|
Fisiknya berlebihan
|
Dilema
|
Mengakibatkan dilema personal
|
Baik
|
Keadaan baik
|
utuh
|
Keluarga yang utuh
|
v
Hal 70
Konjungsi
|
kalimat
|
|
Koordinatif:
•
dan
•
atau
•
tetapi
|
(1)
Tradisi film musikal yang dikembangkan di Hollywood mengacu pada
kecenderungan film-film musikal klasik
tahun
1930--1960-an yang berpaku pada hal-hal yang berlawanan
(oposisi
biner), terutama berkaitan dengan gender,
ras,
agama, latar belakang, atau temperamen.
(2)
Hal itu tergambar pada kondisi keluarga Aldo dan teman-teman
Rara,
antara si miskin dan
si
kaya.
(3)
Aldo mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan
kebutuhan
fisiknya berlebihan, tetapi jiwanya kering
dan
mengakibatkan dilema personal.
(4) ). Aldo
mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan
fisiknya berlebihan, tetapi jiwanya kering dan
mengakibatkan dilema
personal.
(5) . Rumah itu ditempati Rara bersama nenek (Si Mbok) dan
ayahnya.
(6) dalam film
tersebut, anak-anak menjadi “penanda” dari kelahiran atau
takdir manusia.
(7) Rara tinggal di sebuah rumah tidak berjendela yang terbuat
dari seng, tripleks, dan kayu bekas di salah satu kawasan
permukiman kumuh.
|
|
Subordinatif:
•
sesudah
•
sebelum
•
sementara
•
jika
•
agar
•
supaya
•
meskipun
•
alih-alih
•
sebaga
•
sebab
•
karena
•
maka
|
(1)
Lebih
jauh lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran yang bisa
dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas semua yang
mereka punyai (harta dan keluarga yang utuh), sementara ada orang-orang
yang tidak berpunya seperti Rara
(2)
Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat jika
dibandingkan dengan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/keluar.
(3)
Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar
mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan
bisa meneruskan tatanan masyarakat,
(4)
si miskin diwakili oleh tokoh Rara, gadis cilik yang sesekali
bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis
(5)
tempat Aldo belajar. sebab itu, perbedaan si miskin dan si kaya
dalam film ini adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-berpunya.
|
|
Korelatif:
•
Baik …
maupun
…,
…
•
tidak hanya
…,
tetapi
….
•
demikian
(rupa)
…
sehingga
…
•
entah …,
entah
…
•
jangankan …,
…
pun
|
(1)
Layaknya dongeng anak-anak dalam majalah Bobo, film “Rumah
Tanpa
Jendela” menyampaikan ajaran moral pada anak-
anak
untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat
yang
terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur
sosial-ekonomi
maupun kondisi fisik/mental
(2)
|
|
Antarkalimat:
•
sungguhpun
demikian
•
sekalipun
demikian
•
meskipun
demikian
•
selanjutnya
•
sesudah itu
•
setelah itu
•
di samping itu
•
sebaliknya
•
akan tetapi
|
(1)
Dengan begitu, mereka
melakukan kewajiban membalas
budi
tanpa perlu mengorbankan kenyamanan dengan
berbagi
kepemilikan ataupun terlibat secara dekat.
(2)
Sementara itu, Rara
mewakili narasi kemiskinan dalam segala
keterbatasan
materialnya: rumah tanpa jendela, sekolah
seadanya,
kerja sampingan
(3)
|
|
10.
Preposisi
|
Kalimat
|
Di
|
(1) Rara tinggal di sebuah rumah tidak
berjendela yang terbuat dari
seng, tripleks, dan
kayu bekas di salah satu kawasan permukiman
kumuh.
(2) Kondisi rumah
tersebut membuat Rara terobsesi untuk memiliki
sebuah rumah
berjendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal
di
kemudian
hari.
(3) Tradisi film musikal yang dikembangkan di Hollywood
mengacu pada kecenderungan film-film musikal klasik
(4)
gadis
cilik
yang sesekali bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis tempat Aldo
belajar.
|
Dari
|
(1) Kisah di dalam
film tersebut terinspirasi dari model biner dalam
dongeng moral
berjudul The
Prince and The Pauper karya Mark
Twain.
(2) Sang pangeran adalah
tokoh Aldo, seorang anak laki-laki dari
keluarga kaya-raya
dengan sindrom mental, yang membuatnya
mengalami
“penolakan” dari
komunitasnya
(anggota keluarga).
(3) Rara tinggal di sebuah rumah tidak berjendela yang
terbuat dari seng, tripleks, dan kayu bekas di salah satu kawasan
permukiman kumuh.
(4)
anak-anak menjadi “penanda” dari kelahiran atau takdir manusia.
|
Pada
|
1) Dongeng semacam
inilah yang ditawarkan Rumah Tanpa Jendela
pada penonton yang
mereka sasar, tak lain tentu anak-anak kelas
menengah atas yang
mampu mengakses bioskop sebagai bagian
dari
leisure
activity.
(2) Kekurangan pada diri Aldo yang mewakili aspek
natural takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara
(3)
Penekanan pada kolektivitas ini merupakan salah satu “karateristik”
film musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ideide
(4)
film musikal sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu
pada diri sendiri (self-reference).
|
Dengan
|
1) Permasalahan
yang dimiliki anak-anak ini diperlihatkan sebagai
sesuatu yang alami dengan lebih menekankan
cara menghadapi
permasalahan
alih-alih mempertanyakan penyebabnya
(2) bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference).
(3)
terutama berkaitan dengan gender, ras, agama, latar belakang, atau
temperamen.
(4) .
Sementara itu, kemewahan rumah Aldo dengan
banyak
jendela menularkan obsesi untuk memiliki rumah berjendela di kalangan
teman-teman Rara.
|
Secara
|
(1) Mengikuti
tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu secara
tidak sengaja dalam
sebuah kecelakaan kecil. Sejak itu mereka
bersahabat.
(2) dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi
maupun kondisi fisik/mental.
(3)
kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan kenyamanan dengan berbagi
kepemilikan ataupun terlibat secara dekat
|
Tanpa
|
1) Jendela dalam film
“Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah
metafora yang
mengena. Jendela memungkinkan seseorang untuk
mengakses dunia
lain (dari dalam atau dari luar) tanpa meninggalkan
tempatnya.
(2) Jendela memungkinkan seseorang untuk mengakses dunia
lain (dari dalam atau dari luar) tanpa meninggalkan tempatnya.
(3) keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela,
sekolah seadanya, dan kerja sampingan
|
Bagi
|
(1) Lebih jauh
lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai
pelajaran yang bisa
dipetik bagi
keluarga
Aldo, bahwa mereka
harus bersyukur
atas semua yang mereka punyai (harta dan
keluarga yang
utuh), sementara ada orang-orang yang tidak
berpunya
seperti Rara
(2)
(3)
|
11.
artikel
|
kalimat
|
Sang
|
(1) Sang pangeran adalah
tokoh Aldo, seorang anak laki-laki dari
keluarga kaya-raya
dengan sindrom mental, yang membuatnya
mengalami
“penolakan” dari komunitasnya (anggota keluarga).
(2)
sang matahari pun sekarang sudah mulai nampak.
(3)sang
kakala pun akan tiup pada suatu hari nanti
(4)
sang bulan memancarkan sinar yang dipantulkan dari matahari
|
si
|
(1) Dengan si miskin berlapang
dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari
kemalangan si miskin masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan
tercipta.
(2) Si cantik nan jelata yang kelak akan
menemaninya
(3) Si
buruk rupa yang baik hatinya
(4) Si
gila yang semakin harinya menggila
|
12.
Kalimat
|
contoh
|
Simplek
|
(1) Rumah itu ditempati Rara bersama
neneknya (Si Mbok) dan ayahnya.
(2)
Sebuah impian yang harus
ia bayar mahal di
kemudian hari.
(3)ia
tidak percaya dengan perkataanya
(4)burung
pu berkicau indah
|
komplek
|
(1) Logika
pemaknaan tersebut bekerja
ketika
Rara yang larut dalam
kesenangan borjuis
(pesta ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk
menemukan rumahnya habis
terbakar, Si Mbok tergeletak
koma
dan ayahnya meninggal dunia.
(2) Keinginan Rara
untuk memiliki
sesuatu,
alih-alih dimaknai
sebagai hasrat
kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang,
justru dianggap sebagai sesuatu
yang menyalahi/mengingkari
takdirnya
sebagai orang yang tidak berpunya.
(3)
saat ia terlelap kakaknya tengah sibuk bekerja
(4)yang
pergi bakerja sedangkan anaknya sedang beljar di sekolah
|
v Tugas 3 hal 76
(1) Setelah membaca teks ulasan
“Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis”, kalian
pasti bisa membayangkan seperti apa
gambaran film “Rumah Tanpa Jendela”
tersebut. Pada bagian orientasi 1 dijelaskan tradisi
oposisi biner tampak pada
film musikal anak-anak tersebut.
Dapatkah kalian menjelaskan oposisi biner
yang seperti apa yang dimaksudkan?
Oposisi biner yang
berkaitan dengan gender, ras, agama latar belakan atau, temperamen. Serta tokoh
yang memilki hal yang berlawanan
(2) Dapatkah kalian menjelaskan makna
paragraf pada orientasi
2?
Kisah dalam film
tersebut terinspirasi dari model biner dalam
dongeng moral
berjudul The
Prince and The Pauper karya Mark
Twain. Sang pangeran
adalah tokoh Aldo. Sementara itu, si miskin diwakili oleh tokoh Rara.
(3) Apa yang dimaksud dengan tradisi opposite attracks pada tafsiran isi 1?
Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara
bertemu secara
tidak sengaja dalam
sebuah kecelakaan kecil. Sejak saat itu, mereka
bersahabat.
Persahabatan tersebut bukan hanya pertemanan
antarindividu,
melainkan pertemuan dua kutub latar belakang status
sosial yang berbeda
(4) Dapatkah kalian menjelaskan makna
kalimat: Layaknya
dongeng anak-anak
dalam majalah Bobo, film
“Rumah Tanpa Jendela” menyampaikan ajaran
moral pada anak-anak untuk
menghadapi realita sosial dalam masyarakat
yang terfragmentasi dalam
perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi
maupun kondisi
fisik/mental (tafsiran isi 2)?
Dalam film tersebut
layaknya sama seperti majalah bobo, karena berisi tentang nasehat, petuah
sebuah ajaran moral untuk anak-anak dalam kegiatan bermasyarakat sosial yang
bercampur dan ber kontaminasi dengan banyak perbedaan dalam banyak perbedaan.
(5) Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai
keinginan yang berlebihan ketika
ia “dihukum” dengan
kompensasi yang harus ia bayar (tafsiran isi 3). Apa
maksudnya kata dihukum pada kalimat
tersebut?
Maksud kata dari
dihukum itu adalah diberi hukuman/ ganjaran.
(6) Lalu apa pula makna kata membayar
pada kalimat: Oleh
karena itu, untuk
“membayar” pelajaran yang
mereka dapat ini, keluarga Aldo menolong Rara
dan Si Mboknya dengan
membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan
penghidupan di villa milik
mereka di luar Jakarta (tafsiran isi 4)?
Maksud kata membayar
tersebut adalah diberi imbalan atas perbuatnnya atau diberi hadiah. Atau bisa
juga di beri balasan atas perbuatannya.
7) Setujukah kalian bahwa film ini
menggambarkan kemiskinan sebagai bagian
dari takdir manusia? Coba jelaskan
pendapat kalian!
Tidak. Karena sebuah
takdir juga bisa dirubah dengan syarat kita yakin dan berusaha untuk
mencapainya
(8) Mengapa kata jendela pada film
“Rumah Tanpa Jendela” dikatakan sebagai
sebuah metafora yang mengena oleh
penulis teks ulasan tersebut?
Jendela memungkinkan
seseorang untuk
mengakses dunia lain
(dari dalam atau dari luar) tanpa meninggalkan
tempatnya. Jendela
memungkinkan orang melihat, bukan terlibat jika
dibandingkan dengan pintu
yang menyediakan akses untuk masuk/
keluar. Jendela
adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu
kondisi.
(9) Dapatkah kalian menjelaskan makna
kalimat pada tafsiran
isi 7: Karena hanya
dalam kondisi itulah, si
kaya termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya
memperkaya diri mereka;
dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tidak
tampak’ di depan mata?
Dongeng semacam
inilah yang ditawarkan “Rumah Tanpa Jendela” pada penonton yang mereka sasar,
tidak lain tentu anak-anak kelas menengah atas yang mampu mengakses bioskop
sebagai bagian dari leisure activity. Sebuah dongeng untuk membuai mereka
dalam mimpi-mimpi borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai
manusia-manusia
borjuis dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat, yang kemiskinan
dan kekayaan ternaturalisasi sebagai takdir dan karenanya tidak perlu
dipertanyakan.sehinnga si kaya dapat menutupi si miskin walau ada tapi tidak
tampak.
(10)Coba kalian buat rangkuman teks
ulasan tersebut dengan bahasa kalian sendiri!
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
_____________________________________________________________
___________________________________________.
v Hal 88-91
No
|
Struktu
teks “ belajar ikhlas dari “ Hafalah Sholat Delisa”
|
1
|
Orientasi
:
Pagi hari dalam
sebuah ruang sekolah di Lhok Nga, desa kecil di Pantai
Aceh, pada 26
Desember 2004, Delisa (Chantiq Schagerl) berupaya khusyu
menjalankan praktik
shalat di depan Ustad Rahman dan Ustazah Nur yang
mengujinya. Ibunya,
Ummi Salamah (Nirina Zubir), bersama beberapa ibu
lainnya menyaksikan
dari luar jendela. Ucapan Sang Ustad sebelumnya agar
dia tetap fokus
pada shalat meski apapun yang terjadi di sekelilingnya benarbenar
ditaati gadis kecil
itu. Termasuk juga gempa yang mengguncang dan
plafon atap mulai
berjatuhan. Bahkan ketika ustad Rahman dan guru penguji
lain lari keluar
dan teriakan panik ibunya tidak membuatnya beranjak. Dia tetap
membaca doa shalat yang
dihafalnya. Air bah tsunami pun meluluhlantakkan
tempat itu dan menenggelamkan Delisa.
|
2
|
Tafsiran:
Scene yang dahsyat dari
film “Hafalan
Shalat Delisa”—jangan
bandingkan
dengan teknologi 3D
film Amerika untuk mendeskripsikan tsunami tersebut—
membuat saya
terhenyak. Seandainya saja saya yang shalat pada saat terjadi
bencana, apakah
saya akan lari atau tetap shalat dengan risiko mati dalam keadaan shalat
sulit dibayangkan. Film berlatar belakang bencana tsunami
yang melanda Aceh
dan berbagai tempat di Asia Tenggara ini menewaskan
ratusan ribu jiwa
dan meninggalkan duka yang mendalam.
Film ini dibuka dengan beberapa adegan manis
dua hari sebelum malapetaka itu.
Delisa tinggal
bersama Ummi dan tiga kakaknya, Fatimah (Ghina Salsabila), dan
si kembar Aisyah
(Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi). Abi
Usman, ayahnya
(Reza Rahadian), bekerja di sebuah kapal tangker asing nun jauh
dari tempat tinggal
mereka. Delisa digambarkan sulit melakukan hafalan shalat,
dibangunkan shalat
subuh juga susah. Umminya sampai menjanjikan sebuah
kalung berhuruf D
yang dibeli dari toko milik Koh Acan (dimainkan dengan
menarik oleh Joe P
Project), jika Delisa lulus ujian praktik shalat. Seperti anakanak
kecil umumnya,
Delisa senang bermain. Dia ingin belajar bersepeda dari
Tiur dan bermain
bola dengan Umam. Saya suka dengan akting Nirina Zubir
yang mampu
menghidupkan spontanitas seorang ibu ketika Aisyah cemburu
pada Delisa atau
Delisa sedang sedih. Ia juga menjadi imam ketika shalat bersama
putri-putrinya.
Awalnya akting anak-anak ini agak kaku, namun Nirina mampu
membuat suasana
hidup. Segmen ini milik Nirina.
Setelah tsunami
menghantam, Delisa diselamatkan seorang ranger (tentara)
Amerika Serikat
bernama Smith (Mike Lewis). Sayang, kaki Delisa harus
diamputasi. Dia
juga dikenalkan dengan Sophie, relawan asing lainnya yang
bersimpati pada
Delisa. Delisa tahu bahwa ketiga kakaknya sudah pergi ke
surga, juga Tiur
dan ibunya, serta ustazah Nur. Semua digambarkan dengan
surealis melintas
sebuah gerbang di lepas pantai menunju negeri dengan mesjid
yang indah. Namun
keberadaan ibunya masih misteri. Melihat keadannya,
Smith ingin
mengadopsi Delisa. Lelaki itu ingat putrinya yang mati dalam
kecelakaan bersama
ibunya. Namun kemudian ayahnya datang. Dia kemudian
harus membangun
hidupnya kembali bersama putrinya sebagai single parent.
“Hafalan Shalat Delisa” tidak terjebak
dengan melodrama yang klise. Ada
kesedihan yang
membuat air mata keluar, tetapi hidup tetap harus berjalan.
Delisa dengan kaki
satu berupaya tegar, termasuk juga membangkitkan
semangat Umam yang
remuk dengan bermain bola. Gadis ini juga memberi
inspirasi pada
ustad Rahman yang sempat patah semangat. Percakapan ustad
Rahman dengan
Sophie di kamp pengungsi menjadi adegan menyentuh
lainnya. “Mengapa
Allah menurunkan bencana ini?” Kira-kira demikian
keluhan ustad itu.
Sophie menjawab, “Coba tanya Delisa. Dia kehilangan tiga
kakaknya, ibunya,
sebelah kakinya, tetapi dia ingin bermain bola.”
Pada segmen ini, akting Chantiq Schagerl
memukau. Aktingnya mengingatkan
pada Gina Novalista
dalam “Mirror
Never Lies” yang
menjadi nominasi
artis terbaik FFI
2011. Dia mampu mengimbangi akting Reza Rahadian
yang memang
gemilang sebagai seorang ayah yang sempat remuk hatinya.
Scene ketika ayahnya
membawa Delisa di reruntuhan rumah mereka sangat menggigit. “Abi akan bangun
rumah kita lagi!” dengan tegas ayahnya berkata.
Adegan ketika Usman
gagal membuat nasi goreng yang seenak buatan Ummi
juga menarik.
Betapa susahnya menjadi single parent bagi seorang laki-laki.
Termasuk ketika air
mata saya tidak bisa dibendung lagi melihat adegan Delisa
memeluk ayahnya,
“Delisa cinta Abi karena Allah!”
Kehadiran Koh Acan
juga menghidupkan suasana. Hal ini merupakan human
interest dalam film ini.
Ketika dia menawarkan bakmi buatannya pada Delisa di
kamp pengungsian
memberikan kesegaran. Begitu juga dia menengok Delisa
yang sakit karena kehujanan. Tentunya
membawakan bakmi kesukaannya.
|
3
|
Evaluasi
:
Film ini menuju
sebuah ending
apakah
umminya selamat atau setidaknya
ditemukan tubuhnya.
Hal ini juga begitu menggetarkan. Namun, apapun itu
Delisa digambarkan
sebagai sosok yang ikhlas. Tentunya dia juga bertekad
menuaikan janjinya
menyelesaikan hafalan shalatnya. “Delisa shalat bukan
demi kalung, tetapi ingin shalat yang
benar.
|
4
|
Rangkuman
:
Film yang diangkat
dari novel laris karya Tere Liye ini merupakan film akhir
tahun dan sekaligus
juga film menyambut awal tahun 2012 yang manis. Cocok
diputar untuk menyambut peringatan
tsunami sekaligus juga hari ibu.
|
No
|
Struktu
teks “ Gara-Gara Kemben, film “gending Sriwijaya’ diprotes budayawan ”
|
1
|
Orientasi
:
“Apa
orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang setidak-tidaknya pernah
memperkenalkan
kasih sayang, kelembutan cinta....”
“Apa
kamu pikir orang-orang itu dilahirkan oleh seorang ibu?”
“Apa
mereka lahir dari batu?”
“Mereka
dilahirkan oleh rahim kekejaman.”
Dialog
itu diucapkan tokoh Ibu dan Bapak yang diperankan Niniek L. Karim
dan
Landung Simatupang dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”
Drama
“Mengapa Kau Culik Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno
Gumira
Ajidarma. Banyak penonton berkaca-kaca matanya menyaksikan pementasan drama
sepanjang 75 menit itu, yang selama itu pula suasana
dicekam
oleh kepiawaian akting dua aktor andal itu, yang satu dari Jakarta
dan satu lagi dari
Yogyakarta..
|
2
|
Tafsiran:
Drama
ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM),
Jakarta,
6—8 Agustus 2001, dan setelah itu digelar di Societeit, Taman Budaya,
Yogyakarta,
16—18 Agustus. Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan Seni
Indonesia
bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban
Tindak Kekerasan).
Panggung
diisi oleh garapan artistik dari tokoh yang juga jarang muncul,
yakni
Chalid Arifin, lulusan Institut Des Hautes Etudes Cinematographiques,
Perancis.
Suasananya serba minimalis, sampai ke tata lampu maupun garapan
musik
oleh Tony Prabowo yang dimainkan oleh Budi Winarto dengan saksofon
soprannya.
Drama
tersebut diilhami oleh peristiwa penculikan aktivis di era Orde Baru-
Soeharto.
Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” berwujud obrolan antara
tokoh
suami dan istri yang anaknya diculik dan belum kembali. Obrolan terjadi
menjelang
tengah malam. Bapak mengenakan sarung dan berkaus oblong,
sedangkan
Ibu bergaun panjang.
Kalau
dilihat secara sederhana, obrolan terbagi dua fase: fase pertama
menyangkut
tindak kekejaman secara umum yang dilakukan oleh tentara,
fase
kedua memfokuskan pada kehidupan Ibu-Bapak itu, yang anaknya, Satria
(diperankan
oleh korban penculikan yang sebenarnya, aktivis Solidaritas
Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi, Nezar Patria) hilang diculik penguasa.
Berlatarkan
pada situasi politik sekarang yang cenderung ingin melupakan
korban-korban
penculikan yang sampai kini tak ketahuan rimbanya, drama
ini
serentak menemukan relevansi sosialnya. Dengan langsung menunjuk
peristiwa-peristiwa
kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia termasuk
pada
tahun 1965, drama ini sendiri lalu seperti berada di wilayah “kesenian
kontemporer”
dengan sifat khasnya: meleburnya batas antara kesenian dan
kehidupan
nyata; antara ruang pribadi dan ruang publik; dan seterusnya. Apa
yang
dialami si Ibu-Bapak Niniek dan Simatupang, adalah juga pengalaman
sehari-hari
sekian orangtua yang kehilangan anak-anaknya, anak yang
kehilangan
bapaknya, diculik oleh genderuwo penguasa politik.
“Ini hanya
sebuah kopi dramatik dari peristiwa yang sebenarnya,” kata
Seno
Gumira. Seno sendiri yang lebih dikenal khalayak sebagai penulis
cerpen
sebenarnya juga pernah menggauli penulisan naskah drama. Ia
pernah
bergabung dengan Teater Alam, Yogyakarta, pimpinan Azwar A.N.
pada
pertengahan 1970-an. Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul
“Pertunjukan
Segera Dimulai” pada 1976. Belakangan, ia mementaskan
“Tumirah
Sang Mucikari” (1998) yang diilhami oleh huru-hara politik di
Tanah
Air.
“Mengapa
Kau Culik Anak Kami?” sendiri, dari segi naskah dan strategi
pementasan,
boleh jadi oleh penulis dan sutradaranya tidak langsung
diparadigmakan
dalam gagasan-gagasan yang mendasari peleburan batas
kesenian
dan kehidupan seperti diwacanakan oleh seni kontemporer. Suasana
penantian,
misalnya, mungkin masih seperti mengacu pada “modernisme”
Becket, taruhlah dalam Waiting for
Godot..
|
3
|
Evaluasi
:
Namun, para
pendukung, katakanlah Niniek, Simatupang, serta tidak
ketinggalan penata
musik, Tony Prabowo, dengan kematangannya telah
menjembatani apa
yang bisa dicapai naskah tersebut dengan publiknya. Ini
masih didukung
adegan sekilas yang menjadi penting, ketika Nezar Patria
tiba-tiba muncul di
panggung beberapa detik. Sementara saksofon yang
melengkingkan blues
oleh Budi Winarto yang menandai pergantian babak,
setiap saat
menggarisbawahi, betapa pahit dan mengenaskan sebetulnya hidup
di republik ini.
Itulah yang membuat hati banyak orang teriris dan sebagian
menjadi sembab matanya ketika keluar
dari gedung pertunjukan..
|
4
|
Rangkuman
:
Di panggung, Niniek
berujar, “Sudah setahun lebih. Setiap malam aku
berdoa mengharapkan
keselamatan Satria, hidup atau mati. Aku hanya ingin
kejelasan....”
Sementara Simatupang berdiri, maju ke ujung panggung dan
bermonolog,
“Mengapa kau culik anak kami? Apa bisa pertanyaan ini dijawab
oleh seseorang yang
merasa memberi perintah menculiknya?” Pertanyaan itu
belum terjawab di atas pentas. Juga
di luar pentas
|
No
|
Struktu
teks “’ Mengapa Kau Culik Anak Kami ?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”
|
1
|
Orientasi
:
Film Gending
Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai
kontroversi.
Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan
protes karena
menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan
Sriwijaya. Pakaian
songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu
juga dianggap
keliru. “Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi
pembiasan sejarah,”
tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi
Rangkuti, Minggu (21/10/2012)..
|
2
|
Tafsiran:
Film Gending
Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan
Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan menggunakan dana APBD senilai
Rp11 miliar. Dalam
anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film
dokumenter. Setelah
selesai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film
dimenangi Putar Production pada April 2012.
Ini kerja sama kedua setelah
film “Mengejar
Angin”.
Nurhadi menilai kelemahan film Gending
Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak
raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasa. Nama Dapunta Hyang
terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi). Menurut Nurhadi, dalam
sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi pertentangan. Kehancuran
Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan
faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk
kekuasaan di antara keturunan raja.
“Pertentangan dan kehancuran kerajaan
diriwayatkan terjadi karena ada
serangan dari luar
kerajaan,” tegas Nurhadi. Ketua Yayasan Kebudayaan
Tandipulau, Erwan
Suryanegara, protes lebih keras. “Saya berani pasang leher
untuk menentang
film ini,” katanya.
Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa
dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang
diceritakan terkesan mengadaada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan
cerita Kerajaan Sriwijaya. Dua hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending
Sriwijaya merupakan nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman
penjajahan Jepang sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari
ini diciptakan Sukainah Arozak, syair diciptakan A. Muhibat. Sementara
Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7
hingga ke-13 masehi. “Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat
disatukan. Selisih waktu di antara keduanya jauh, berabad-abad,” jelasnya..
|
3
|
Evaluasi
:
Erwin
mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis skenario
film karena
menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan
latar belakang
sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan
kostum yang
dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain
mengenakan pakaian
yang tidak bercirikan pakaian Melayu ketika itu. “Kemben
yang digunakan itu
bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi
kami, pakaian itu
merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak
mandi,” ungkap budayawan yang juga
menjadi pengajar di Palembang ini..
|
4
|
Rangkuman
:
Sama seperti
Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan
yang diceritakan dalam
film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film
Gending Sriwijaya
mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang
anak Raja Dapunta
Hyang Sri Jayanasa (diperankan Slamet Rahardjo), yakni
Awang Kencana (Agus
Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan).
“Tidak ada sejarah
yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja
Kerajaan Sriwijaya,” tegasnya.
|
No
|
Judul
teks ulasan
|
kelebihan
|
kekurangan
|
Jalan
keluar
|
|
1
|
“
belajar ikhlas dari “ Hafalah Sholat Delisa”
|
a) Scene yang dahsyat dari
film “Hafalan
Shalat Delisa”
b) akting Nirina
Zubir
yang mampu
menghidupkan spontanitas seorang ibu
|
a) Penggambaran
tsunami tidak
maksimal
b) akting anak-anak
ini agak kaku
|
a) jangan
bandingkan
dengan teknologi 3D
film Amerika untuk mendeskripsikan tsunami tersebut_____________
b) Awalnya akting
anak-anak ini agak kaku, namun Nirina mampu
membuat suasana
hidup. Segmen ini milik Nirina
|
|
2
|
“
Gara-Gara Kemben, film “gending Sriwijaya’ diprotes budayawan ”
|
a) Tender film
dimenangi Putar
Production pada
April 2012. Ini kerja sama kedua setelah film “Mengejar Angin”.
b) menjelaskan
cerita tentang kerajaan.
c) kisahnya
mengingat tentang sejarah.
|
a) Film Gending
Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai
kontroversi.
Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan
protes karena
menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan
Sriwijaya.
b) kelemahan film
Gending Sriwijaya terletak pada cerita
pertentangan dan
perebutan tahta oleh dua anak raja
c) kisah yang
diceritakan terkesan mengadaada
karena
menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan
Sriwijaya.
d) _____________
e) _____________
|
a) Harus ada
revisi sebelum
ditayangkan
b) sejarah Kerajaan
Sriwijaya tidak
pernah terjadi
pertentangan.
c) perlu adanya
pengetahuan tetntang sejarah terlebih dahulu sebelum membuatnya.
|
|
3
|
“’
Mengapa Kau Culik Anak Kami ?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”
|
a) Banyak
penonton
berkaca-kaca
menyaksikannya
b) _____________
c) _____________
d) _____________
e)______________
|
a) _____________
b) _____________
c) _____________
d) _____________
e) ____________
|
a) _____________
b) ____________
c) _____________
d) _____________
e) _____________
|
No
|
Kalimat
|
Benar
|
Salah
|
1
|
Scene yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa” membuat saya
terhenyak.
|
ü
|
|
2
|
Aktingnya mengingatkan pada Gina
Novalista dalam Mirror
Never Lies yang
menjadi nominasi artis terbaik FFI 2011.
|
ü
|
|
3
|
Drama “Mengapa Kau Culik
Anak Kami?” ditulis
dan disutradarai oleh Seno Gumira Ajidarma.
|
ü
|
|
4
|
Ia pernah menggelar drama karyanya
berjudul Pertunjukan
Segera Dimulai pada
1976.
|
ü
|
|
5
|
Belakangan, ia mementaskan “Tumirah Sang
Mucikari” (1998)
yang diilhami oleh huru-hara politik di Tanah
Air.
|
ü
|
|
6
|
Film Gending Sriwijaya yang disutradarai
Hanung Bramantyo menuai kontroversi.
|
ü
|
|
7
|
Ini kerja sama
kedua setelah film “Mengejar
Angin”.
|
ü
|
|
8
|
Film Gending Sriwijaya digarap Hanung
Bramantyo bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan
menggunakan dana APBD.
|
ü
|
|
9
|
Film “Hafalan Shalat Delisa” diangkat dari novel
yang berjudul sama, Hafalan Shalat Delisa.
|
ü
|
|
10
|
Nurhadi menilai kelemahan film “Gending Sriwijaya” terletak pada
cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja
|
ü
|
vHal 95-96
No
|
Struktu
teks “Guyonan
Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat”
|
1
|
Orientasi
:
“Gundala Gawat”
karya budayawan Goenawan Mohamad (GM) diadaptasi dari
serial komik
“Gundala Putera Petir” karya Hasmi. GM menganggap ini adalah
karya guyonan
belaka. “Sesekali kita boleh to, merenungkan sesuatu dengan
cara yang guyonan,”
kata GM, “semua terserah pada pencernaan penonton.” Seperti diakui oleh si
seniman dari Njogja
yang
kondang karena karakternya yang unik dan kuat meniru berbagai logat dan
karakter pengucapan tokohtokoh nomer satu Indonesia, bahwa, ”Pementasan
naskah ini oleh Teater Gandrik adalah sebuah tawaran bagi publik untuk menafsirkan nilai-nilai
sebuah esensi,” kata Butet Kartaredjasa, “apakah guyonan ala kami sama
denganguyonan gaya OVJ.”
|
2
|
Tafsiran:
Mendengarkan
ucapan kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik
itu,
terbayang bagi saya untuk mencernanya ke dalam keseluruhan peristiwa
pementasan
itu di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16—17 April 2013.
Terdapat
beragam tanggapan dan respon masyarakat setelah
menyaksikannya.
Muncul
pula kritik dari beberapa media, namun secara
umum, memberikan
nilai
plus. Begitupun saya rasa, dari sekian penonton yang antusias menikmati
suguhan
seni ala nJogja itu.
Harian
Suara Merdeka melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang, memberikan
judul ”Idealisme
Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan
itu.
Namun toh, isi dari kandungan tulisan Sony lebih menekankan pada
tajuk
”Gundala”, dalam cerita yang ditulis Goenawan Mohamad ini menjadi
sosok
yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Dan sebagai
teater
modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah, tapi dagelan Jogja
terutama
plesetannya adalah ”kewajiban”.
Cerita ”Gundala Gawat” setidaknya
memberikan
sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Pertama
kelompok
koruptor, pengalihan isu dari wabah petir, dan idealisme yang tidak
laku.”
Begitupun, Harian Jawa Pos yang memuatnya
sebagai headline, menekankan
sebuah
data, seperti lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik
tetap
tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Untung Basuki,
aktor
kawakan Bengkel Teater Rendra era 1980—1990-an, ketika saya mintai
pendapat,
hanya menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya ndak habis
pikir, GM,
membuat
adaptasi naskah teater yang seperti itu,” katanya.
Dan kata Iwan
Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar
negeri
juga memberikan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah
saya
pahami maksudnya. Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya.
Sehingga
agak luput seperti apa yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis
oleh
seorang GM.”
Almarhum
Rendra memberikan pengertian kepada saya dalam sebuah
pendapatnya,
”Yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama adalah
bagaimana
kejelian sutradara mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi
yang
terbentuk
akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut
ke
dalam semangat pertunjukan.”
Menyaksikan
secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala
Gawat”
dari sejak gladi resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan
mensinergikan
dalam pemahaman saya mencerna apa yang dikatakan Rendra
dalam
kredonya tersebut, cukup berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan
perannya
sebagai sutradara. Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi
dimunculkan
dari kreativitas yang aneka. Dari pengolahan plot yang
saling
sinambung
dan terjaga. Dari abstraksi, klimaks dan anti klimaks, cukup
mengalir
memberikan tanya yang berjawab bagi benak segenap penonton.
Naik
turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan
cahaya
atau lighting yang sinergi dengan
rancak, jenaka dan senyapnya
olahan
permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. Apalagi
dengan
gaya sampakan atau akting semau gua yang
akhirnya menjadi ciri khas
para ”gandriker” yang
sesekali meloncat dari naskah. Berupa celotehan dan
spontanitas
yang kontekstual dengan alur. Tentu saja fragmen begini, yang
selalu
menjadi ciri mereka dan ditunggu para pecinta dan fans beratnya untuk
menghasilkan
senyum dan bahkan tawa ngakak. Apalagi telah dua tahun
grup
teater
dari Njogja ini, absen dari
perhelatan, dan ditinggal pergi Heru Kesawa
Murti,
salah satu dedengkotnya, yang meninggal dalam usia 54 tahun karena
sakit.
Menjadikan pementasan yang emosional bagi para anggota Gandrik,
kiranya,
seperti ingin menunjukkan sebuah semangat, “Teater Gandrik akan
terus
hidup dan berpentas!”Mendengarkan ucapan kedua tokoh utama di balik
pementasan Teater Gandrik itu, terbayang bagi saya untuk mencernanya ke dalam
keseluruhan peristiwa pementasan itu di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta,
16—17 April 2013. Terdapat beragam tanggapan dan respon masyarakat
setelah menyaksikannya. Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara
umum, memberikan nilai plus. Begitupun saya rasa, dari sekian penonton yang
antusias menikmati suguhan seni ala nJogja itu.
Harian Suara Merdeka melalui tulisan Sony
Wibisono, tak kurang, memberikan
judul
”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan
itu.
Namun toh, isi dari kandungan tulisan Sony lebih menekankan pada
tajuk
”Gundala”, dalam cerita yang ditulis Goenawan Mohamad ini menjadi
sosok
yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Dan sebagai
teater
modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah, tapi dagelan Jogja
terutama
plesetannya adalah ”kewajiban”.
Cerita ”Gundala Gawat” setidaknya
memberikan
sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Pertama
kelompok
koruptor, pengalihan isu dari wabah petir, dan idealisme yang tidak
laku.”
Begitupun,
Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline,
menekankan
sebuah
data, seperti lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik
tetap
tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Untung Basuki,
aktor
kawakan Bengkel Teater Rendra era 1980—1990-an, ketika saya mintai
pendapat,
hanya menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya ndak habis
pikir, GM,
membuat
adaptasi naskah teater yang seperti itu,” katanya.
Dan kata
Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar
negeri
juga memberikan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah
saya
pahami maksudnya. Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya.
Sehingga
agak luput seperti apa yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis
oleh
seorang GM.”
Almarhum
Rendra memberikan pengertian kepada saya dalam sebuah
pendapatnya,
”Yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama adalah
bagaimana
kejelian sutradara mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi
yang
terbentuk
akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut
ke
dalam semangat pertunjukan.”
Menyaksikan
secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala
Gawat”
dari sejak gladi resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan
mensinergikan
dalam pemahaman saya mencerna apa yang dikatakan Rendra
dalam
kredonya tersebut, cukup berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan
perannya
sebagai sutradara. Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi
dimunculkan
dari kreativitas yang aneka. Dari pengolahan plot yang
saling
sinambung
dan terjaga. Dari abstraksi, klimaks dan anti klimaks, cukup
mengalir
memberikan tanya yang berjawab bagi benak segenap penonton.
Naik
turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan
cahaya
atau lighting yang sinergi dengan
rancak, jenaka dan senyapnya
olahan
permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. Apalagi
dengan
gaya sampakan atau akting semau gua yang
akhirnya menjadi ciri khas
para ”gandriker” yang
sesekali meloncat dari naskah. Berupa celotehan dan
spontanitas
yang kontekstual dengan alur. Tentu saja fragmen begini, yang
selalu
menjadi ciri mereka dan ditunggu para pecinta dan fans beratnya untuk
menghasilkan
senyum dan bahkan tawa ngakak. Apalagi telah dua tahun
grup
teater
dari Njogja ini, absen dari
perhelatan, dan ditinggal pergi Heru Kesawa
Murti,
salah satu dedengkotnya, yang meninggal dalam usia 54 tahun karena
sakit.
Menjadikan pementasan yang emosional bagi para anggota Gandrik,
kiranya,
seperti ingin menunjukkan sebuah semangat, “Teater Gandrik akan
terus hidup dan
berpentas!”
|
3
|
Evaluasi
:
Hanya saja, saya
melihat, bahwa, Susilo Nugroho, yang akrab dikenali sebagai
si Den Baguse
Ngarso dan menjadi pemeran Gundala, dalam beberapa adegan
nampak kedodoran,
berakting tidak seperti biasanya. Bagaimana pun, ialah
aktor utama dalam
pelakonan pentas itu. Jika semangatnya naik turun, pastilah
berakibat bagi yang
lain untuk naik turun. Seringkali ia melakukan hal yang
fatal. Yaitu terlambat masuk ke
dalam timing.
Sehingga naskah yang semestinya
lucu secara naskah,
lantas tak menghasilkan senyum atau ketawa penonton,
alias hambar-hambar
saja. Begitupun, adegan yang semestinya dramatis.
Menyepikan suasana
untuk memberi nuansa tragis, atau sitegang sebagai
gambaran tajamnya
persoalan peristiwa, jadi naik turun pula maknanya dalam
pencernaan
penonton.
Untungnya ada Butet
Kartaredjasa, seperti yang saya lihat bermain nyaris
prima dan konsisten.
Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia
sedikit down untuk memberi
nuansa dramatis pada ending pementasan.
Sebagaimana
karakternya yang kuat, yaitu bersuara besar dan serak, dan
pandai mengatur
tempo pengucapan, jelaslah ia jago orasi yang mumpuni.
Sehingga pintar
membetot sepenuhnya perhatian penonton. Hanya tertuju
kepadanya,
begitulah misteri panggung itu jika sudah jinak. Namun, kali itu,
ia mengalami
dilema, terlambat timing. Sehingga
semestinya, kalimat terakhir
yang menggelegar
dan giris itu, ”Kalau saja para superhero tidak lagi gagah
menyuarakan
kebenaran. Titenono…
sopo leno, tak petir ndasmu!” akan ikut
pula memalu dan
menggodam perasaan penonton. Dan menjadikan sepi ruang
alam: alam
panggung, alam Concert Hall, alam penonton, sesepi kuburan.
Sehingga pada
akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan
menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah
lagi.
|
4
|
Rangkuman
:
Secara
umum, saya melihat, para aktor cukup mumpuni memainkan perannya.
Lucu,
berisi dan kritis.Terhadap pernyataan GM, bahwa pelakonan ini seperti
bermakna
guyonan belaka, saya rasa ada benarnya. Tapi juga sebuah pandangan
lain
dari arti sebuah guyonan, bahwa, disampaikan dengan kaidah Teater Gandrik,
terasa bedanya. Akumulasi dari keseluruhan kinerja jeli sang sutradara dan
dibantu seperangkat artistik kepercayaannya, memungkinkan memberi cakrawala
lain di hati dan benak pemirsa.
|
No
|
Kata/kalimat yang keliru atau
mubazir
|
Kata/kalimat yang benar
|
1
|
Harian Suara Merdeka melalui tulisan
Sony Wibisono, tak kurang, memberikan
judul ”Idealisme
Sepi Gundala
’Njembling’” pada review terhadap
pementasan
itu.
|
Harian Suara Merdeka,
melalui tulisan
Sony Wibisono,
memberikan judul
”Idealisme
Sepi Gundala ’Njembling’” pada
review
terhadap
pementasan itu
|
2
|
Seringkali ia
melakukan hal yang fatal.
Yaitu
terlambat masuk ke dalam timing.
|
Seringkali ia melakukan hal fatal.
Yaitu terlambat masuk ke dalam riming
|
3
|
Mendengarkan ucapan
kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik
itu, terbayang bagi
saya untuk mencernanya ke dalam keseluruhan peristiwa
pementasan
itu di Concert Hall
|
Mendengarkan ucapan
kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik, terbayang bagi saya
untuk mencernanya dalam keseluruhan peristiwa
pementasan
di Concert Hall
|
4
|
Harian Jawa Pos yang
memuatnya sebagai headline, menekankan
sebuah
data, seperti lakon-lakon sebelumnya,
|
Harian Jawa Pos
memuatnya sebagai headline, menekankan sebuah
data, seperti lakon-lakon sebelumnya,
|
5
|
Tapi saya rasa,
terlampau banyak badutannya.
Sehingga agak luput
seperti apa yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis
oleh
seorang GM.”
|
Tapi saya rasa,
terlampau banyak badutannya.
Sehingga agak luput
seperti apa saya bayangkan, ketika naskah ditulis oleh seorang GM.”
|
6
|
Berupa celotehan
dan
spontanitas
yang kontekstual dengan alur.
|
Berupa celotehan
dan spontanitas kontekstual dengan
alur
|
7
|
pun, ialah
aktor
utama dalam pelakonan pentas itu.
|
pun, ialah aktor
utama pelakonan pentas.
|
8
|
Seperti diakui oleh
si seniman dari Njogja
yang
kondang karena karakternya
yang unik dan kuat
meniru berbagai logat dan karakter pengucapan tokohtokoh
nomer
satu
Indonesia,
|
Seperti diakui si
seniman dari Njogja
yang
kondang karena karakternya unik dan kuat meniru berbagai logat dan karakter
pengucapan tokoh-tokoh nomer satu Indonesia,
|
9
|
dalam cerita yang
ditulis Goenawan Mohamad ini menjadi
sosok
yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali.
|
cerita yang ditulis
Goenawan Mohamad menjadi
sosok
yang sangat dirindukan Hasmi dihidupkan kembali
|
10
|
Menyaksikan secara
utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala
Gawat”
dari sejak gladi resik
|
Menyaksikan utuh,
pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala
Gawat”
sejak gladi resik
|
Terima kasih, sangat membantu !
BalasHapusRasanya tak ada kata lain selain "Terima Kasih" - salam IdeRudi
BalasHapushe, tafsirannya kok berulang ulang ya?
BalasHapus